Monday, 30 May 2016

Iskandar Muda - Didikan Perang

Hatta maka kata shahibul hikayat adalah Perkasa Syah makin hari semakin bertambah dewasa, bijak, dan ramah.

Ia bertambah akrab dengan ulama-ulama lain dan juga orang-orang besar, bentara, dan hulubalang. Perangainya sangat baik, ibarat magnet yang mampu menarik besi, begitulah bisa dilukiskan perangainya karena ia mampu menarik simpati semua kalangan, baik kalangan dalam istana maupun kalangan rakyat biasa. Ketika waktu senggang usai mengaji, ia berjalan-jalan ke sudut kampung. Di mana pun ia berjumpa dengan orang alim dan orang yang lebih tua darinya, ia menyalami orang tersebut sambil mencium tangan mereka. Tak lupa pula ia berdiskusi dengan orang yang lebih alim darinya mengenai ilmu pengetahuan agar bertambahlah wawasannya.

Jika ia bertemu dengan orang-orang tua, ia juga bertanya-tanya tentang segala hal, misalnya pengalaman mereka dalam berperang melawan musuh, mengenai hukum adat istiadat yang ada dalam negeri, dan lain-lain. Begitu juga jika ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu falak dan ilmu firasat, ia tak segan-segan untuk berdiskusi dengan mereka. Dengan banyak berdiskusi dan bertelaah, maka ia yakin akan bertambahlah ilmu pengetahuannya. 

Seri Baginda Sultan kebetulan pada masa itu juga telah menerima kedatangan dua orang ulama dari Mekkah, yang termasyhur bernama Syekh Abdul Khair bin Hajar dan Syekh Muhammad Yamani, yang mereka itu ahli dalam bidang ilmu fikih, tasawuf, dan ilmu falak. Sementara itu datang juga ulama dari Gujarat yang bernama Syekh Muhammad Jailani bin Hasan Ar-Raniry. Ulama-ulama ini pun kelak menjadi guru bagi Perkasa Syah yang menambah daftar guru-gurunya.

Pada malam hari Perkasa Syah meninggalkan istana untuk mengikuti kajian-kajian ulama tersebut. Dalam perjalanan menuju tempat pengajian, jika dijumpai para pemuda yang sedang duduk-duduk berkumpul, maka diajak serta olehnya ke tempat pengajian. Dan jika ada di antara para pemuda tersebut ~ yang menurut firasatnya baik ~ memiliki kriteria sebagai pendampingnya di istana, maka akan direkrutlah mereka, namun jika mereka keberatan untuk menetap di istana, maka Perkasa Syah akan menganggapnya sebagai kawan dan disuruh datang sekali-sekali ke istana. 

Perkasa Syah kadang-kadang menghabiskan waktu luangnya di istana dengan bermain bersama kawan-kawannya. Salah satu permainan yang disukainya adalah perang-perangan. Semua pengiringnya di istana diajaknya untuk ikut bermain. Senjata yang mereka gunakan adalah bedil bambu (beudee trieng). Selain bermain perang-perangan, mereka juga bermain kuda-kudaan dari daun pinang dan kuda kayu. Hampir setiap pekan ia mengumpulkan anak-anak seusianya. Kemudian mereka berangkat ke tempat persawahan Raja Umong. Di sanalah mereka bermain perang-perangan. Kadangkala mereka membuat sebuah pasukan dengan nama pasukan diambil dari kampung masing-masing. Begitulah mereka saling berperang dengan mempertahankan kampungnya masing-masing dari kekalahan. Permainan ini pun lama-lama digemari oleh anak-anak sehingga asal ada waktu luang mereka senantiasa bermain perang-perangan.

Kanak-kanak yang berani dan pandai bermain perang dipuji oleh Perkasa Syah. Jika ada kawan pengiringnya kurang cakap bermain, Perkasa Syah tidak segan-segan mengajarkannya agar mereka dapat lebih terampil dan cakap. Mereka juga belajar cara melempar lembing dan bagaimana cara bermain pedang. Kemudian mereka melanjutkan latihan dengan menebas barisan lidi yang telah diikat dan batang pisang. Tempat mereka bermain lama-lama semakin dipenuhi oleh kanak-kanak lain. Dan ada di antara mereka yang tertarik untuk bermain.

Sepulang mereka ke kampungnya, lalu mereka membuat pedang dan lembing dari kayu, selanjutnya melatih kemampuan mereka seperti yang pernah diajarkan oleh Perkasa Syah. Untuk perisai, mereka membuatnya dari sabut kelapa kering. Tiada antara berapa lama, maka pekerjaan permainan pedang dan lembing pun pindah memindah dari satu kampung ke kampung lain sehingga permainan ini semakin populer di kalangan kanak-kanak. Demikianlah inisiatif Perkasa Syah yang bijak perkasa itu telah dapat menarik hati kanak-kanak muda belia untuk mempelajari cara berperang yang dapat menanam darah keberanian dalam kalbu putera Aceh semenjak mereka kecil sampai dewasa. Kebanyakan di antara mereka itu kelak menjadi pahlawan dan kaum balatentaranya. Istimewa pula dengan perangai yang baik dan kebijaksanaannya, telah dapat memikat hati dan kasih sayang anak-anak serta orang tua dari tingkat yang rendah hingga ke tingkat yang tinggi dari segala golongan. Perangai yang saleh dan merendahkan diri itulah yang mengangkat martabat dan nama Perkasa Syah menjadi seorang yang ternama dalam dunia ini, seperti ibarat bidal Melayu: mati harimau meninggalkan belangnya, mati gajah meninggalkan gadingnya dan mati Perkasa Syah meninggalkan namanya yang masyhur. 

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 28-31.

Sunday, 29 May 2016

Belanda Bejat dan Aceh Bejat


Gambar Hindia Belanda yang dikejutkan oleh kedatangan zaman baru yang menyerbu sekitar 1870 dari Negeri Belanda melalui Terusan Suez merupakan pertanda kenyataan. Bukan Hindia saja yang berada dalam suasana tempo doeloe. Negeri Belanda sendiri pun baru pada paruh akhir abad ke 19 bangkit dengan hidup baru, Bagaimana dengan pelayaran kapal melalui Terusan Suez, yang baru lama kemudian memberi keuntungan kepada Hindia Belanda? Sempat memakan waktu dari tahun 1865 sampai 1876, sesudah mengalami bermacam-macam skandal, barulah terusan Laut Utara selesai. Masa pembuatan De Nieuwe Waterweg (Terusan Baru) bahkan merana dari tahun 1866 sampai 1886. Bila baru tahun 1974 dibuka garis tetap pelayaran kapal uap Belanda ke Hindia, penyebab penundaan ini adalah Negeri Belanda, bukan Hindia. Dengan menjadikan Den Helder dan Hellevoetsluis sebagai pelabuhan pangkalan, bagaimanakah jadinya kemungkinan pelayaran kapal uap di Batavia? Pemindahan angkutan ke kapal kecil dan dari sini ke kapal-kapal Sungai Rijn begitu besar biayanya dan banyak memakan waktu hingga sama saja jadinya dengan berlayar mengitari Tanjung Harapan.

Bila sesudah dua puluh tahun mayoritas liberal di parlemen baru daoar melaksanakan salah satu pokok programnya yang utama yaitu dihapuskannya Tanam paksa, hal ini merupakan kelambanan di Negeri Belanda dan bukan karena kelambanan kolonial di Hindia.

Saya telah menulis tentang besarnya jumlah krisis kabinet dan jumlah menteri jajahan yang lebih besar. Kalangan liberal yang harus memulai perbaikan, makin lama makin terpecah. Kemunduran golongan konservatif yang terus menerus dapat diimbangi karena tambahnya unsur konservatif yang sebanding di kalangan liberal. 

Memang terdapat perhatian yang lebih besar untuk masalah-masalah Hindia, terutama sejak Majelis Perwakilan harus mengesahkan anggaran belanja Hindia sejak tahun 1867, tetapi ahli-ahli Hindia Belanda yang berkaliber besar, antara saat turunnya W. van Hoevell pada tahun 1862 dan naiknya Ir. H. H. van Kol pada tahun 1897, tidak terdapat dalam Majelis, kecuali seorang tokoh. Tokoh pengecualian ini ialah Fransen van de Putte, tetapi dia telah menghabiskan tenaganya sebagai menteri. Selama tiga puluh tahun tidak terdapat lagi prakarsa dari Parlemen. Masalah kolonial menjadi pembicaraan seru pada pertengahan abad ke 19 berkat pembahasan yang seru dalam Parlemen (Van Hoevell) dan di luarnya (Multatuli). Sesudah itu masalah ini terdesak dalam bayangan soal-soal hak pilih dan pendidikan. Dan soal Aceh.

Perang Aceh sangat memberatkan tanggungan Hindia. Karena menelan banyak korban manusia dan sarana, sesudah tahun 1873 setiap kemajuan tertahan lama. Titik berat urusan Hindia berpindah ke Het Plein (Lapangan), kementerian jajahan, yang berkat sarana perhubungan yang lebih baik dapat mengendalikan kebijaksanaan atas seberang lautan. Barulah pada akhir abad ini. Parlemen mulai memainkan peranan lagi, hampir bersamaan waktunya dengan naiknya gubernur-gubernur jenderal seperti C. H. J. van der Wijck dan penasihatnya yang cemerlang, Snouck Hurgronje, yang menghendaki kebebasan yang lebih besar dalam kebijaksanaan mereka.

Pecahnya Perang Aceh pada tahun 1873 merupakan hadiah politik samawi bagi golongan konservatif di Parlemen. Karena penjelasan kurang, perdebatan yang wajar baru dapat berlangsung pada bulan April 1874 ketika pemerintah bersedia menyerahkan secara terbatas semua, ya hampir semua, dokumen: korespondensi antara Batavia dan Den Haag, nota diplomatik, perintah harian, artikel dari koran-koran Inggris, teks perjanjian. Majelis memutuskan untuk membahas berkas-berkas ini dalam komisi umum. Perdebatan dilangsungkan dari tanggal 16 sampai 20 April. Pada tahun 1881 buku putih pemerintah diumumkan dan tidak lagi merupakan rahasia. 

Anggota konservatif Fabius-lah yang paling hebat mengecam petualangan liberal ini, yaitu perang. Dibandingkannya Aceh dengan perbuatan nekat Napoleon III di Meksiko, dan diingatkannya bagaimana akhirnya jadinya: Maximiliaan ditembak mati, Bazaine dijebloskan dalam penjara. Kaisar kemudian meninggal dunia dalam pembuangan ....

Kecaman itu mendapat sambutan baik, tetapi terlalu jauh dari kenyataan hingga kurang memuaskan. Lain halnya dengan pidato perdana anggota Majelis yang termuda, Abraham Kuyper, anggota anti revolusioner. Anggota yang berusia 37 tahun ini baru saja bebas tugas sebagai pendeta, Dalam politik, agama, dan jurnalistik (pemimpin redaksi majalah Standaard yang didirikannya sendiri) ia masih dalam usia yang bergelora semangatnya. Sejak gerakan April tahun 1853 kalangan Katolik memihak kaum liberal, kalangan anti revolusioner mendukung konservatif. Sikap menentang yang dikemukakan Kuyper dalam masalah Aceh jadinya sudah diduga, tetapi pidatonya mengandung sesuatu yang tidak dimiliki Fabius: ciri amarah yang sesungguhnya, mengutuk perang atas dasar susila.

"Orang memukul tong kosong," kata Kuyper. "Ada intrik, yang sekiranya bisa dikutip dari berkas-berkas ini, akan menjadi roman yang menarik hati." Menurut Kuyper, Read menderita penyakit khayalan, Loudon telah menjadikan kita korban sejarah, Arifin adalah bajingan tengik yang lecik, Fransen van de Putte menggeser tanggung jawabnya pada Loudon, ultimatum pada Aceh tidak adil. "Kalau di satu pihak orang tidak bisa merasa dirinya terikat pada syarat-syarat hukum internasional yang ketat, sedangkan Aceh adalah sebuah negara bumiputera, maka orang jangan memainkan siasat lain dengan menyatakan Aceh bertanggungjawab terhadap pelanggaran norma hukum yang berlaku bagi negara-negara Eropa." Tetapi mosinya bahwa tidak terbukti ultimatum 22 Maret adalah tidak dapat dielakkan, ditariknya kembali ketika Fransen van de Putte menjadikannya pertaruhan nasib kabinet.

Nada pidato Kuyper membuktikan bahwa terdapat kegelisahan di Negeri Belanda tentang kebenaran dilaksanakannya perang, yang tidak hanya di kalangan kaum Multatuli dan kalangan radikal lainnya. Pada tahun 1873 Pendeta J. H. Gunning di Den Haag menerbitkan buku dengan judul yang sarat makna, Acchin, een waarshuwing Dods aan ons (Aceh, suatu peringatan Tuhan kepada kita), sebuah khutbah tentang ekspedisi yang gagal itu. Ia mengutip di dalamnya bagaimana Tuhan menurut Josua VII menghukum anak-anak Israel dengan menimpakan kekalahan. Lebih daripada pencurian uang dan barang yang telah kita lakukan terhadap Hindia Timur, kata Gunning dalam khutbahnya. "Tidak kita berikan kepada mereka kehidupan yang ada dalam Yesus Kristus. Karena itu, di dalam dan di luar batas-batas jajahan kita tumbuh kehidupan yang bermusuhan dan berbalik melawan kita. Kita harus mengakui dan memberantas dosa-dosa terhadap tanah jajahan Hindia Timur. Sifat mementingkan diri dalam diri kita dan nenek moyang kita janganlah lagi kita pulasi dengan nama yang indah-indah, dan jangan kita lanjutkan. Keadilan untuk orang bawahan, dalam pemerintahan negara dan hubungan perdagangan pertama-tama ketidakadilan, pemulihan, ditegakkannya keadilan kembali, dengan langkah yang tetap, bersih, dan juga bermanfaat tujuannya. Kemudian kebebasan, pengabaran Injil yang tiada dihalang-halangi bagi mereka yang belum mengenalnya." 

Bila dalam khutbah pendeta ini masih terdengar pantulan perjuangan untuk kemerdekaan zending dan misi di Hindia Belanda, dalam koran Kuyper De Standaard bulan Juni 1873 terbit kronik Hindia yang lebih mempunyai titik politik, karangan-karangan ini ditulis oleh Mr. L. W. G. Keuchenius, kemudian pengacara di Batavia. Pada tahun 1866 terjadi krisis kabinet yang gawat akibat mosinya terhadap skandal berhentinya Mr. P. Meijer, menteri jajahan, sesudah dia mencalonkan diri untuk pengangkatan gubernur jenderal. Keuchenius dalam kronik-kroniknya mengutip Surat kepada Raja Multatuli tahun 1872 dan terang-terangan menganjurkan mengenai perang bahwa rakyat Belanda "tidak boleh membiarkan kekuasaannya di Hindia didasarkan atas ketidakadilan sehingga menjadi goyah."

Kini terbil pula brosur dengan nada itu dan dalam pers konservatif dilakukan kampanye yang hebat. Tetapi makin sengit orang menyerang peperangan, makin sengit pula ia dibela. Para penantangnya bukanlah satu-satunya golongan yang secara moral mempersoalkan hak bertindak. Para pendukung memiliki dua senjata propaganda yang ampuh: kegagahberanian Belanda dan kebejatan orang-orang Aceh.

Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengadakan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional. Kunjungan itu diabadikan, setidak-tidaknya tetap dalam kenangan, pada sebuah lito yang dibuat oleh J. W. Egenberger, yang memperlihatkan Raja bersama ajudan-ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si orang tua yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal. Penyair J. J. A. Gouverneur yang masih kita kenal hanya sebagai pencipta Prekibeen dalam buku kanak-kanak, yang ketika itu mengubah lirik bagi bencana-bencana nasional, antara lain menyanyikan baris-baris berikut pada kecapi hatinya:

Ada Tuhan yang mengilhami Anda,
Wahai Raja Willem, raja kmi
Suatu titik gemilang dalam hidup Anda,
Menyematkan satu bintang lagi di dada.

Bahwa Anda dalam rumah kecil, jauh dari benteng,
Mendatangi seorang ayah tua berhati tabah,
Menghiburi hatinya nan sedih menangisi,
Putra tewas di depan benteng Aceh.

Dan ini bukanlah satu-satunya bahasa puitis perang di Aceh. Untuk mengobarkan semangat dalam pengerahan tenaga tempur di Harderwijk terbit antara lain Militair Achinlied (Lagu Militer Aceh). Lagu yang memang dibutuhkan karena pengerahan hasilnya tidak seperti yang dikehendaki, walaupun uang persennya dinaikkan menjadi dua ratus gulden untuk ikatan hanya dua tahun, padahal biasanya empat atau enam tahun. Dari empat ribu orang fuselir yang direkrut, setengahnya berasal dari luar negeri, terutama dari Belgia, Jerman, dan Prancis. Dari segi kebangsaan angka-angka ini masih relatif baik. Bagi NIL (Tentara Hindia Belanda) sebagai legiun asing menurut saya tidak ada contoh yang lebih mencolok daripada tahun 1877. Pada tahun itu melalui Harderwijk dikirimkan 3.046 orang Eropa militer, yaitu hanya 884 orang Belanda banding 2.162 orang asing. Lagu Militer Aceh P. Haagsma lengkap dengan musik dapat diperoleh dengan harga 3 sen. Hasilnya untuk Palang Merah yang untuk pertama kali mengirimkan wakil ke Hindia. Sejak Haagsma yang menyayat hati tidak kurang dari 12 bait jumlahnya, antara lain sebagai berikut:

Ke Aceh, keraton! Sarang segala kejahatan,
Persekongkolan, pembajakan, dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat:
Dengan sang Tiga Warna Belabda "peradaban" tumbuh.

Tanda kutip pada kata perubahan seluruhnya menjadi tanggung jawab penyair yang menutupnya dengan:

Ke Aceh! Keraton! Itulah semboyan kita kini,
Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuhm atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.

Dalam sajak ini kepahlawanan dan kerja peradaban kuat mengikat. Seperti juga di satu pihak belum pernah "dasar susila" politik kolonial Belanda begitu sungguh-sungguh dan untuk Negeri Belanda begitu seru dipersoalkan pengalamannya dibandingkan dengan pada awal Perang Aceh, begitu sengit pula tiada taranya tuduhan serangan yang dilancarkan terhadap "kebejatan-kebejatan" orang Aceh. Sampai sekian jauh sesungguhnya para penyokong dan penentang politik kolonial Belanda sama sependapat dalam satu hal: orang Jawa adalah "bangsa yang terlembut di bumi", seperti dinyatakan oleh Sicco Roorda van Eysinga dalam Syair Kutukan-nya, dan bangsa Jawa menjadi teladan bagi semua bangsa di Nusantara yang tidak diketahui orang. Bagaimana tentang orang Aceh yang ternyata tidak tergolong di dalamnya?

Aceh bukan Jawa, tetapi juga bukan Siak. Aceh bisa bertahan dan cukup makmur tanpa Belanda turun tangan. Aceh memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional pada tahun 1873 paling tidak terdapat seorang pemimpin dengan kecerdasan pengetahuan dunia yang unggul, yaitu Perdana Menteri Habib Abdurrahman Zahir. 

Dalam tulisan ini ~ yang menggambarkan Aceh sebagai fokus setengah abad politik kolonial, nasional, dan internasional ~ sedikit yang akan dapat kita bicarakan tentang negeri dan rakyat Aceh sendiri. Tetapi jelaslah bahwa dalam seluruh lingkungan pengaruh yang untuk mudahnya disebut Hindia Belanda, tidak sebuah pun terdapat kerajaan pada abad kesembilan belas yang dapat dibandingkan dengan Aceh. Suatu perang lebih dari setengah abad lamanya, dengan seratus ribu orang mati dan setengah milyar gulden abad ke 19 yang tinggi nilainya telah membuktikan itu. Sekarang hal itu kita ketahui, tetapi pada tahun 1873 tidak; apalagi di Negeri Belanda, bahkan di Jawa pun orang tidak mempunyai suatu gambaran manusia bagaimana orang-orang Aceh itu.

Dalam bacaan perang masa itu orang Aceh cukup banyak diberi sifat-sifat yang buruk. Pengkhianatan dan kemunafikan sudah pastilah karena pengkhianatan Singapura. Lalu ditambahkan lagi: kelicikan, fanatisme, ketagihan madat, dan kemerosotan akhlak dalam arti seksual.

Perdagangan Aceh dengan luar negeri dalam hal ini Pinang, terdiri dari ekspor tiap tahun sekitar 140.000 pikul merica, kira-kira sembila ribu ton, jadi merupakan sebagian besar dari keseluruhan perdagangan dunia dalam hasil bumi ini. Di samping itu impor tiga ratus sampai empat ratus peti candu, di samping barang-barang tekstil, senjata, dan apa yang ketika itu disebut "barang-barang kelontong". Taksiran kasar Aceh mempunyai setengah juta orang penduduk. Untuk seluruh Jawa dengan dua puluh juta penduduk pada waktu itu, impor candu 1.400 peti. Ini angka resmi dari Kantor Pengendalian Candu Pemerintah. Impor yang sesungguhnya di Jawa kiranya lebih tinggi. Namun, dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan candu di Aceh tinggi sekali, setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan di Jawa. Bahwa penggunaannya di Aceh untuk tiap kepala dari penduduk adalah juga setengah dari penggunaan di Cina, tidak menjadi perhatian. Jawa yang menjadi tolok ukur, jadi Aceh "ketagihan candu". Kendatipun demikian, menurut sumber yang sama pada waktu itu, ketagihan candu benar-benar dalam peristiwa perorangan, tidak sering terjadi dan, bila hal ini terjadi, masyarakat Aceh sendiri menilainya sama buruknya dengan penilaian masyarakat Eropa. Di samping itu, semua kegiatan isap candu ini ternyata tidaklah sampai berakibat merusakkan tenaga rakyat seperti yang umumnya dinyatakan. Bahkan orang boleh bertanya mana yang lebih "celaka": mengisap candu yang dilakukan oleh orang Aceh atau minum alkohol yang biasanya dilakukan oleh fuselir-fuselir Eropa NIL?

Selain mengisap candu, dalam bacaan perang Belanda biasanya disebut-sebut juga dua keburukan tabiat khusus orang Aceh. Pertama mengudung mayat musuh; hal ini tidak terdapat di tempat lain di Nusantara. Di negeri-negeri yang penduduknya kebanyakan beragama Islam hal ini merupakan kebiasaan kuno, yang tidak saja dulu dan sekarang dilakukan terhadap orang "kafir", tetapi juga pada sesama mukmin. Memotong anggota kemaluan bertujuan merenggutkan musuh yang tewas dari salah satu kenikmatan dalam surga, sekiranyalah kebetulan masih juga dia dapat masuk ke sana. Dalam buku-buku tentang Aceh, kebiasaan itu digolongkan 'sifat kebinatangan'. Tidak pernah secara saksama diuraikan, tetapi memang termasuk di dalam bagian cerita rakyat lisan, yang tidak sedikit mengurangi minat orang masuk dinas militer di Harderwijk. Salah satu hiburan menarik dalam kehidupan di Timur adalah justru kehidupan seksual yang nikmat yang diharapkan orang - dan yang sesungguhnya adakalanya memang bisa didapat. Dalam tangsi dan perkemahan berlaku hubungan seksual liar dengan wanita-wanita Indonesia. Dan bahkan banyak pula anggota militer Eropa melakukan hubungan yang agak tetap dengan nyai piaraannya. Dan sekarang datang pula cerita seperti itu!

Dalam gambaran tentang orang Aceh dengan berbagai sifat keburukan itu, seperti dilukiskan oleh para penyokong karya peradaban Belanda, tidak boleh pula ketinggalan 'kebinatangan'. Pada umumnya dengan itu dimaksud tindakan homofil, terutama sekali suka berbuat mesum dengan anak-anak, yang ternyata adakalanya memang terjadi di kalangan pemuka feodal. Anak-anak berias cantik-cantik memainkan peranan besar dalam pesta-pesta tari Aceh.

Sejauh mana segala kebiasaan ini banyak tersebar, tentu saja tidak dapat diselidiki. Yang pasti adalah bahwa kalangan Muslim ortodoks sangat menentangnya. Banyak anjuran yang dilakukan orang Aceh untuk melakukan perang suci, jihad, terhadap kaum kafir, mengutuknya dan ketika pihak Belanda berhasil memperoleh beberapa kemenangan, para ulama dan pemuka menjelaskan bahwa kekalahan yang diderita oleh rakyat Aceh ini adalah akibat pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum Islam dan ajaran-ajaran Quran ini. Jadi, dalam hal ini pun: Perang Aceh merupakan siksaan Tuhan! Kekuatan perlawanan Aceh, bersama dengan dimaklumkannya jihad, dalam pandangan orang Belanda tentu saja merupakan sifat jahat pula, yaitu fanatisme. Seorang yang sopan, yang tidak mengisap candu, tidak berbuat mesum dengan anak-anak dan tidak mengudung musuhnya, tentunya tidak akan melawan begitu fanatik! Pengalaman dalam menghadapi tenaga yang mengilhami perjuangan Islam di Jawa biasanya lain sekali.

Masih pada tahun 1882 seorang perwira Belanda dalam sebuah kumpulan Schetsen uit de Atjeh-oorlog (Corat-coret dari Perang Aceh), yang sebelumnya dan sesudahnya banyak pula terbit, menulis tentang orang Aceh: "Kami ingin meyakinkan Anda bahwa karena sifat kebinatangan mereka dan tindakan-tindakan mereka yang tidak berperikemanusiaan, mereka tidak berhak lagi mengharapkan sikap menenggang dari kita."

Untuk masa waktu yang lama demikianlah gambaran umum yang sangat tersebar luas dalam karangan-karangan Belanda mengenai manusia Aceh. Baru sesudah terbit telaah yang mendalam pertama tentang negeri dan bangsa, karya Snouck Hurgronje yang cemerlang pada tahun 1893, yakni De Atjehers (Bangsa Aceh), mulailah terjadi perubahan. Dalam tahap akhir sementara pertempuran, yang disebut Perang Aceh keempat, musuh dianggap sebagai lawan yang terhormat. Tetapi ketika itu ia pun sudah hampir terkalahkan dan masih lama lagi baru kita sampai sejauh itu. []



Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 51-57.

Wednesday, 25 May 2016

Pertimbangan Bagi Belanda

Belanda menganggap Teuku Muhammad Arifin sebagai agen provokator

Tanpa Arifin, Read, dan Loudon pun Perang Aceh akan pecah juga. Paling-paling ketiga mereka ini agak mempercepatnya saja. Dari kenyataan berikut ini akan nyatalah bahwa menaklukkan sultan Aceh dengan damai, seperti yang pernah dibayangkan Fransen van de Putte pada tahun 1873, bukanlah tidak mungkin terjadi. Tetapi bagaimanapun tidak akan berbeda akibatnya bagi perkembangan yang tidak menguntungkan bagi usaha untuk perluasan kekuasaan Belanda. Keliru sekali gambaran yang dibayangkan orang di Batavia dan Den Haag tentang kedudukan sultan.

Ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa Arifin, Read, dan Loudon telah memainkan peranan yang sangat mencurigakan. Dengan mengarang-ngarang dan menambah-nambah informasi yang tidak benar telah menyesatkan pemerintah Belanda.

Loudon yakin bahwa perang 'mesti' pecah. Bertahun-tahun dia sibuk dengan persiapan dan hanya tinggal menantikan suatu penyebab. Sedikit pun dia tidak hendak meragukan bahan-bahan yang sampai ke tangannya. Bukti yang jelas telegram 1 Maret 1873 tentang keberangkatan armada Amerika dari Hongkong. Telegram ini bukan pula pemalsuan, seperti berita yang banyak datang dari Singapura. Telegramnya sama sekali tidak ada. Loudon tidak menyuruh memeriksa kabar-kabar mengenai adanya sebuah telegram. Tidak, dia justru mempercepat keberangkatan Nieuwenhuyzen ke Aceh dan menggelisahkan Den Haag dengan memberitahukan: ""Menurut kabar, Amerika telah mengirimkan armada dari Hongkong ke Aceh". Berita itu dogunakannya dalam perang urat sarafnya terhadap Fransen van de Putte yang ragu-ragu.

Bahwa pada Arifin ada kesengajaan untuk melakukan penyesatan cukup terbukti dari berkas-berkas resmi. Kemudian, pada perdebatan dalam majelis, sampai dikatakan: orang ini bisa dibeli. Read telah membelinya, dia adalah seorang spion bayaran yang bekerja untuk Read. 

Keadaannya tidaklah seluruhnya demikian. Arifin tidak bisa dibeli. Dia hanya bisa disewa. Dia dibayar Read untuk informasinya, dan jasanya pun tidak akan gratis ditawarkannya kepada Studer dan orang-orang Aceh.

Peranan Read dalam penyesaran ini lebih sulit dibuktikan. Namun, saya beranggapan bahwa dia secara sadar memainkan peranan agen provokator menurut gaya pengakuan angkuh dalam memoarny, Play and Politics, tentang situasi di Perak pada tahun 1873 itu juga. Arifin tidak lebih dari agennya, yang mulai membuat kesalahan besar ketika dia - karena terlalu rajin sebagai provokator - terus saja memproduksi dokumen-dokume Stider lebih banyak. Read sendiri tahu benar siasat Arifin, seperti ternyata dalam suratnya ke Batavia tentang ganjaran yang harus diterima Arifin. Bahwa sekebalinya dari Bangkok dia tidak sedikit pun berusaha menguji informasi Arifin, tetapi justru menambah-nambahnya, lalu meneruskannya kepada Loudon, itu saja sudah merupakan provokasi.

Lagi pula bagaimana sebenarnya Arifin bisa mendapatkan teks perjanjian Siam yang digunakannya sebagai model traktat 'Amerika' dengan Aceh? Mustahil bahwa orang kecil seperti dia bisa memiliki salinan perjanjian, walaupun dalam bentuk guntingan korang. Tentunya, Read si ahli Siam yang memberikannya. 

Satu-satunya pihak yang pada tahun 1873 sama sekali tidak bersalah, juga menurut pandangan tidak sedikit teman semasa, adalah Aceh. Dalam Perjanjian untuk Niaga, Perdamaian, dan Persahabatan tahun 1857 tidak terdapat sebuah artikel pun yang melarang Aceh mencari bantuan diplomatik dan materil pada siapa pun sesudah jaminan Inggris akan kemerdekaannya menjadi dihapus oleh Traktat Sumatera tahun 1871.

Pembahasan tentang adanya atau tidak hak moral Belanda untuk melakukan perang koloniak - yang tercetus di Negeri Belanda dan Hindia Belanda - adalah baru. Di sini pun kita lihat tanda zaman baru timbul dari tempo doeloe. Yaitu zaman baru imperialisme yang sama sengitnya dipertahankan dan diberantas yang memasuki Negeri Belanda bersama Perang Aceh yang kedua.

Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 49-51.

Iskandar Muda - Masa Muda

Setelah putera raja itu dikhitan, makin hari makin besarlah putera itu, ramah tamahnya bertambah-tambah. Baginda menyerahkan lagi puteranya kepada Teungku di Bitai turunan Arab dari Baitul Muqaddis untuk mengaji kitab (imu nahu) beserta budak-budak kawan-kawan pengiringnya. Sangatlah rajin putera raja itu menuntut ilmu, demikian juga budak-budak yang lain kawan-kawannya diamat-amati oleh putera raja itu sendiri supaya mereka itu semua bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Gurunya sangat berbesar hati akan kerajinan putera itu, hatinya sangat terang dan cerdik, tingkah lakunya pun tak ada yang dicela, begitu juga ketika berbicara dengan orang lain, semakin terlihatlah sikap bijak putera raja itu di antara kawan-kawannya yang lain. Berbagai persoalan ditanyakan oleh putera raja kepada gurunya. Satu persatu persoalan itu kemudian dijelaskan oleh Teungku di Bitai yang memang seorang ulama yang dalam pengetahuannya, apalagi dalam ilmu falak dan ilmu firasat. Kasih sayang guru kepada putera raja itu amat mesra. Oleh sebab guru itu seorang ahli dalam ilmu firasat, maka beliau telah dapat menduga segala tingkah perangai putera raja itu, seorang kanak yang bijak perkasa. Bila putera itu pulang dari belajar, maka guru itu selalu bertelaah dengan orang-orang tua, bahwa putera raja seorang yang bertuah besar, bintangnya terang benderang.

Di masa dewasa hingga di hari tuanya, telah memperoleh martabat yang tinggi karena bijak perkasanya, bahkan pada sifat merendahkan diri pintar mengambil hati orang tua dan orang-orang alim. Beberapa kali telah diperhatikan oleh gurunya itu, bila seseorang kawannya bersalah dalam tertib dan khidmat kepada gurunya, selalu saja kawannya itu dimarahi oleh putera raja. Orang yang lebih tua sangat dihormati oleh putera raja itu. Pada suatu hari tatkala putera itu pulang dari mengaji, dilihatnya seorang tua sedang mengangkat benih padi di sawah di dalam panas yang terik, maka segeralah ia meloncat ke dalam sawah untuk membantu pekerjaan orang tua itu, sekalipun orang tua itu memekik minta ampun dan melarangnya, tetapi tidak dihiraukan, melainkan putera itu memanggil kawan-kawannya menyuruh turun ke dalam sawah untuk  membantu pekerjaan orang tua yang berat itu. 

Setelah selesai membantu orang tua itu pulanglah putera raja itu ke istana. Sampai di istana tercenganglah orang-orang melihat putera raja serta kawan-kawannya berlumur lumpur seperti orang yang habis berkelahi. Dengan segera Rama Setia mendekati rombongan anak raja dengan bertanya ada apa gerangan sehingga terjadi demikian rupa. Putera itu menjawab sepulang dari mengaji, di jalan dilihatnya seorang telah tua dalam kepayahan mengangkat benih padi di sawah. Oleh karena sayang akan orang tua itu, serta mengingat isi kampung itu tiada menaruh sayang akan yang sudah berumu tua itu, yang dirasanya dalam kampung itu tak ada aturan tolong-menolong, maka kami bersama-sama telah memberi bantuan akan orang tua itu. Beberapa ikatan bibit yang hendak ditanami itu, habislah semua kami atur dan letakkan baris-berbaris dalam sawah yang lebar itu. Setelah Rama Setia mendengar jawabn dari putera raja itu, lalu tersenyum simpul dengan hati yang lega dan terus balik ke balairung mempersembahkan hal itu kepada Baginda Sultan yang lagi bersemayam beserta orang besar-besar dan Baginda pun tertawa terbahak-bahak.

Tatkala itu pula segala orang-orang besar pun insaflah akan budi pekerti putera raja yang penyayang itu, bukan saja tertib sopan yang dihargai, juga hati penyayangnya. Tidak beberapa lama antaranya sampai pula berita itu ke telinga gurunya Teungku di Bitai, beliau sangat bersenang hati memperoleh khabar itu. Oleh sebab itu kasih sayang guru itu kepada putera raja bertambah-tambah mesra dan makin bertambah yakin pula akan ramalnya, bahwa putera raja yang perkasa itu kelak menjadi seorang yang ternama dalam martabatnya di kemudian hari. Karena kasih sayang dan kesukaan guru itu kepada putera raja, maka terbukalah pintu ilmunya hendak mencurahkan berbagai-bagai ilmu pengetahuannya ke dalam kalbu muridnya dan di antara ilmu-ilmu yang lain hendak diajarkan juga ilmu falakiah dan ilmu firasat supaya dalam hati sanubari putera raja itu terkumpul berbagai-bagai ragam ilmu pengetahuan untuk mempertinggikan martabatnya kelak. 

Segala cita-cita guru itu lalu diberikan kepada putera raja itu di segala waktu bila datang mengaji dan oleh putera raja itu sangat taat dan khidmat akan gurunya sehingga kasih sayang putera itu kepada gurunya pun dari hari ke hari semakin bertambah dengan tiada pula segan menyegan bertanya segala yang kurang jelas dari kejadian dan ajaran gurunya itu. Karena tingkah laku dan bijak cerdik putera raja itu amat nyata pada Teungku itu, maka jatuhlah ilham dalam hati sanubari Teungku itu untuk memberi satu nama kebesaran kepada putera raja itu. Demikianlah pada suatu pagi sedang putera raja duduk mengaji di dayah maka datanglah seorang mengangkat satu seuhap hidangan ketan lalu diletakkan di tengah-tengah murid yang sedang mengaji.

Setelah datang datu seuhap hidangan itu, maka pelajar mengaji pun berhentilah, disuruh buka hidangan itu dan dibagi-bagi isi ayapan itu untuk kenduri kepada murid-murid yang hadir di situ. Sesudah selesai santapan itu, lalu guru besar itu merasikan namanya putera raja itu dengan nama yang baru, dengan menyeru kepada murid-muridnya: mulai hari ini namanya menjadi Tun Pangkat Perkasa Syah.

Maka amat bersuka citalah hati segala kawan putera raja itu setelah mendengar nama baru yang disebut oleh gurunya. Setelah itu turunlah mereka itu semua pulang ke istana. Sampai ke istana dikahabarkanlah oleh mereka itu akan nama Tun Pangkat yang baru, yang dirasikan oleh Teungku di Bitai kepada putera raja.

Baginda pun amat berbesar hati akan nama begawan yang diberikan oleh Teungku di Bitai kepada putera Baginda. Baginda serta Ibu Suri semakin bertambah senang dan suka akan putera Baginda yang cerdik perkasa itu. Setelah mendapat nama yang begawan dari gurunya, semenjak itu sebutan perkasa populer di dalam istana kampung dan negeri. 


H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 25-27.

Tuesday, 24 May 2016

Iskandar Muda - Khitan

Ketika sudah tiba waktunya untuk sunat rasul (khitan), maka Baginda serta Maharani bermufakatlah dengan orang-orang besar dalam negeri, mengadakan peralatan (meukeureuja) menurut sepanjang reusam dan adat negeri. Setelah memiliki kesepakatan, maka ditetapkanlah keureuja  itu selama 14 hari 14 malam lamanya untuk mengadakan kenduri dan keramaian dalam istana. Tiga sagi Aceh dan jajahan taklukannya dimaklumkan dan diundang oleh segala hulubalang dan ulama untuk menghadiri kenduri dan perjamuan itu.

Enam hari bulan Muharram dimulailah proses kegiatan itu, istana dihiasi dengaimana adat yang biasa dalam lembaga negeri.

Bunyi meriam bertalu-tali dipasang untuk kehormatan dan tanda-tanda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat bersiap-siap untuk datang ke istana. Berduyun-duyun hamba Allah datang menuju ke halam istana raja. Berbagai permainan dan hiburan rakyat dimainkan oleh orang-orang siang dan malam. Berpuluh ekor kerbau, lembu, dan kambing disembelih untuk santapan tetamu. Rama Setia mondar mandir kian kemari untuk mengatur dan menjaga segala urusan peralatan perjamuan itu dalam istana.

Segala perwira-perwira, biti-biti dan dayang-dayang dalam istana, agi sibuk mengerjakan persediaan hidanga. Perang Batu pun terjadilah lagi dengan amat dahsyatnya. Rakyat mukim Kunyit, mukim Lombok dan mukim rempah bertambah ramai datang menyerang kembali Kuta Batu, sehingga bala tentara 3 mukim itu lebih banyak korban dari pada perang di masa lahir putera itu. Pedang beuek aweiel anggar menganggar dan tangkis menangkis dalam medan perang. Teluk Belang Selendang dan baju Panglima Perang Gumbak yang binyak dan betah itu penuh dengan titikan darah bala tentara Kunyit dan Rempah yang telah jatuh korban itu. Tumpah ruah hamba Allah datang menghadiri peralatan itu. Kerbau dan lembu tidak terbilang banyaknya dipersembahkan oleh segala tetamu agung untuk memenuhi adat istiadat negara. Putera raja tiap-tiap hari bersemanyam di atas pelaminan keemasan, di bawah tirai diwangga dan tidak putus-putusnya orang datang menyembah dengan mengantarkan gubahan masing-masing sealakadarnya menurut taraf dan derajat.

Bentayan-bentayan penuh dengan tamu-tamu agung yang datang dari jauh. Arakan diadakan sepanjang kota dan pekan, putera raja didudukkan di atas gajah pelaminan dengan diiringkan oleh 40 orang kanak-kanak teman sejawat putera itu, yang hendak disunatkan bersama-sama. Sepanjang jalan yang dilalui perarakan itu, dihiasi atau ditanami dengan tebu yang berdaun sebagai gaba-gaba kehormatan menurut sepanjang reusam atau adat negeri. Barisan gedumbak, naferi dan hamba sipa-i berjalan di muka gajah pelaminan itu dengan diikuti oleh beratus Bentara Hulubalang dan hamba rakyat pengiringnya. Berpuluh ribu isi negeri di kiri kanan jalan ray berdiri berdesak-desak menonton perarakan itu. Setelah habis melalui jalan raya dan pekan, baliklah pulang ke dalam istana, sampai di muka pintu gerbang, disambut pula dengan letusan meriam kehormatan dan sesampai masuk ke dalam kuta istana, turunlah putera raja itu dari atas gajah pelaminan dan naik terus ke atas istana beristirahat di atas gajah pelaminan dan naik terus ke atas istana beristirahat di atas keta pancapersada keemasan dan barulah segala pengikut perarakan itu pulang masing-masing ke tempatnya. Demikianlah peralatan dan keramaian itu dilaksanakan orang untuk menghormati putera raja yang berbahagia itu dan berakhirlah keramaian itu 14 hari dan 14 malam dengan selamat dan sentosa semuanya.

Sesudah habis acara itu, di hari kelima belas, Baginda memanggil kembali alim umala, menyuruh khatamkan kajian putera Baginda serta segala teman-temannya. Selesai kenduri itu, keesokan harinya pula dipanggilnya 4 orang tukang sunat dan Baginda suruh sunatkan putera Baginda serta keempat puluh orang kanak-kanak teman putera Baginda dan titah Baginda itu dilaksanakan oleh tukang sunat itu. Tiga hari lamanya kanak-kanak itu tiada turun ke tanah dan di hari berikutnya barulah mereka itu turun ke bawah, berjalan linggang pinggang, kakinya beralas dengan kasut dari pada upis pinang dan pinggangnya diikatkan gelunang onar (rotan) seupaya tidak mengenai lukanya. Demikianlah pekerjaan sunat rasul putera Baginda sudah selesai dan dalam beberapa lamanya, sembuhlah luka putera raja dan segala kawan-kawannya yang lain semuanya.

Lanjut baca bagian 6 Masa Muda

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 21-24.

Monday, 23 May 2016

Iskandar Muda - Masa Kecil

Dari hari ke hari, putera Raja makin bertambah besar, sehat dan jernih air mukanya. Kasih sayang Baginda suami isteri tidak terhingga. Tingkah pekerti putera itu pun merayukan hati segala isi istana. Tidak putus-putus didukung-dukung orang: pawera dan biti-biti, semakin pandai putera itu berdiri dan berjalan, makin bertambah-tambah kasih sayang Baginda dan ibu suri serta segala isi istana. 

Tiap-tiap hari pulang didukung-dukung di atas pundak Bentara-bentara yang menjelang ke istana. Salam menyalam dengan segala tetamu, diajarkan oleh ibundanya, istimewanya pula segala tertib majelis sopan santun, semuanya diajar dan dibiasakan semenjak kecilnya. Anak-anak orang besar atau anak-anak bentara, hulubalang yang kira-kira sebaya dengan putera itu, tiap-tiap hari ganti berganti disuruh datang atau jemput ke istana Baginda untuk menjadi teman puteranya bermain-main. Ramah tamah nampaklah diperhatikan orang akan putera Raja itu. Penganan yang diantarkan oleh biti-biti dan inang pengasuh, di bahagikan oleh putera raja itu dengan sama rata dan sama besar kepada segala teman-temannya bermain. Satu sama lain kanak-kanak padu memadu kasih sayang yang amat mesra. Di waktu sore tatkala anak-anak itu akan dibawa pulang ke rumahnya masing-masing oleh orang tua atau pengasuhnya, menangislah mereka itu, seakan-akan setapak pun jangan bercerai dengan raja kecil itu atau dengan sesama kawan-kawannya yang lain, sebab itu kebanyakan gant-gantilah kawan-kawan itu ditidurkan dalam istana.

Menjelang umur 5 tahun, putera itu main bertambah-tambah cerdik akal budinya dan kasih sayang sesamanya makin bertambah-tambah padat dan mesra. Dalam dewasa itu pun Baginda telah mengadakan seorang guru untuk mengajar mengaji putera raja dan sekalian kawan-kawannya yang lain yang 10 orang banyaknya. Di antara rombongan kanak-kanak itu, nyata benar bijak dan cerdik putera raja itu. Acap kali Baginda ke balairung, dibawalah puteranya, didudukkan di sisi Baginda, sebaris dengan orang-orang besar, selaku mengajar putera itu melihat sopan santin yang bertertib dalam tutur kata di dalam majelis rapat mahkamah itu. Sedemikian pekerti dan muslihat Baginda dalam hal itu, selain dari mendidik puteranya, juga untuk menarik atau mengikat kasih sayang orang-orang besar akan putera Baginda. Dari pihak para orang-orang besar pun amat suka dan menyenangkan baginya akan tingkah laku kelakuan putera itu, sehingga mencurahlah kasih sayang mereka itu akan putera ang berbahagia itu. Bukan saja balairung itu menjadi rumah perguruan sopan santun putera itu, tetapi di mana tempat perjamuan di rumah orang-orang besar, yang mengundang Seri Baginda, dikirimlah putera itu akan ganti Baginda berhadir sendiri. Ini pun gunanya supaya putera itu mempelajari segala tertib dan adat lembaga isi negeri dan kenal akan orang-orang besar, yang mana senantiasa menjadi penasehat putera itu.

Di waktu ada undangan, ialah gurunya serta orang-orang besar Nanta Setia Raja atau Paduka Sinara Maharaja. Di dalam tiap-tiap perjamuan, diperhatikan benar oleh putera itu segala tutur kata yang pelik-pelik yang diucapkan orang tua-tua kepada orang-orang besar dan putera itu sendiri. Sesuatu reusam atau kanun yang diperbuat orang dalam perjamuan itu serta kata-kata yang pelik-pelik yang belum dilihat atau diketahui, selalu mendatangkan soalan putera itu kepada gurunya atau kepada orang besar yang menjadi pengapit-pengapitnya. Demikian juga kalau ada didengar kata-kata peribahasa atau bidal-bidal yang bertakwi, diselidiki dengan seterang-terangnya.

Di dalam pergaulan di taman kanak-kanak, putera itu selalu bermain-main dengan sesamanya segala yang diperhatikan di atas balairung dan di tempat-tempat perjamuan, dicobakan dalam permainannya. Setelah selesai mengaji, baik siang ataupun malam, kalau bulan terang maka diadakanlah satu permainan "meuraja-raja" untuk pelalai hati mereka itu. Cara pekerti yang dilaksanakan itu ialah di antara kanak-kanak itu dipilih seorang yang diangkat menjadi raja, dipilih beberapa orang menjadi perdana menteri atau orang-orang besar dan beberapa hulubalang yang gagah perkasa. Di kiri kanan raja itu duduklah perdana menteri, mangkubumi, laksamana dan sebagainya, seperti yang lbiasa dilihat di balairung. Sementara itu datanglah beberapa hulubalang atau orang-orang besar yang lain menyembah raja dengan tutur kata yang halus dengan sesungguh-sungguhnya serta diperhatikan betul oleh putera raja itu, kalau-kalau ada yang salah mereka itu kerjakan. Siapa di antara kanak-kanak itu ada yang salah atau silap mengerjakan dan menyusun tutur katanya ataupun tak lancar menuturkan segala bidal-bidal yang telah disuruh lafalkan, maka itu diganti dengan yang lain serta ditertawakan atau diolok-olokkan beramai-ramai dengan tampik sorak yang amat meriah supaya di waktu percobaan yang akan datang dapatlah ia menutur atar mengatur kembali. Dan siapa di antara kanak-kanak yang pandai bertutur kata serta sikap baik dalam pekerjaan itu, dipuja pujikan oleh putera raja. Lain daripada itu diasuhnya anak-anak itu.

Demikianlah peradaban yang dipelajari oleh kanak-kanak kawan jawat putera raja yang cerdik dan bijak itu, dalam taman pergaulan sehari-hari.

Lanjut baca bagian 5 Khitan

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 20-21.

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis