![]() |
Teuku Muhammad Arifin adalah anggota perutusan Aceh yang berbicara dengan konsul-konsul luar negeri di Singapura. Kemudian dibocorkannya kepada konsul Jenderal Belanda. |
Pada akhir tahun 1872, Loudon mengangkat dua orang komisaris pemerintah. Sesudah mengalami kegagalan pada masa lalu, mereka akan berusaha berunding dengan sultan Aceh, yaitu tentang peninjauan Perjanjian Niaga, Perdamaian, dan Persahabatan tahun 1857. Kepada Sultan diberitahukan kedatangan mereka yang akan berlangsung pada bulan Desember. Sebelum itu, di koran-koran dari Pinang dan Singapura panjang lebar orang dapat membaca apa-apa yang kira-kira direncanakan Belanda sesudah mereka dapat bertindak bebas di Sumatera. Aceh sendiri telah mengambil prakarsa. Pada bulan September seorang pejabat tinggi Aceh berkunjung ke residen Riau, D. W. Schiff, salah seorang komisaris yang diangkat itu. Orang Aceh itu adalah Panglima Tibang Muhammad, yang sebagai syahbandar atau penguasa cukai dagang dan pemasukan keuangan pelabuhan merupakan salah seorang pejabat yang terpenting di negerinya. Katanya, dia diberi kuasa untuk membuat suatu perjanjian yang baru dengan Sultan. Karena ia tidak dapat memperlihatkan surat-surat kuasa penuh, Schiff menyuruhnya pulang dengan hasil yang sia-sia. Pada bulan Desember, Tibang Muhammad muncul lagi di Tanjung Pinang, yang sedang mengepalai suatu delegasi yang terdiri dari lima orang. Ia membawa sepucuk surat yang isinya menyatakan bahwa Sultan - sesungguhnya masih seorang anak muda berusia lima tahun dengan banyak wali - meminta agar Schiff menunda kedatangannya ke Aceh; dia ingin menantikan hasil suratnya yang baru kepada Sultan Turki.
Tampaknya aneh bahwa dia benar-benar memenuhi permintaan itu, tetapi Tibang memberi penjelasan mengenai penundaan itu. Di Aceh saat itu, menurut ceritanya, terdapat dua pihak golongan 'Arab', pro Turki dan anti Belanda di bawah pimpinan Habib Abdurrahman (manusia "angkuh" itu) dan pihak Sultan yang agak lunak. Tibang termasuk di dalamnya, dan mau mengadakan persetujuan dengan Belanda. Bila kunjungan Belanda ditunda, besar sekali kemungkinan sementara itu golongan Arab sudah kalah.
Cerita ini sesuai dengan keterangan-keterangan yang telah diterima Schiff dari pedagang-pedagang Belanda. Walaupun terdapat macam-macam cerita tentang pembajakan di laut dan pemerasan, masih juga terus-menerus orang Belanda datang ke ibukota Aceh; tetapi perdagangan sebenarnya tidak berjalan lancar, karena sumber-sumber kekayaan yang sesungguhnya, kebun lada, dikuasai oleh raja-raja swapraja daerah-daerah pesisir.
Setelah sebulan berada di Riau, Schiff menyuruh mengantar pulang para perunding ke Aceh dengan kapal uap pemerintah Marnix. Antara lain mereka akan berlayar melalui Singapura yang letaknya berdekatan. Di sini ada beberapa urusan yang akan mereka selesaikan, seperti pengembalian sekunar Aceh, Gipsy, yang dulu ditangkap angkatan laut Belanda karena membajak, dan pembelian sebuah kapal lain.
Pada tanggal 25 Januari, mereka berangkat ke Singapura, tetapi segera sesudah berangkat dari kota ini diketahui bahwa, selama beberapa jam singgah di sana, mereka telah menggunakan kesempatan mengunjungi konsul Italia dan Amerika, serta mengusahakan mengadakan persetujuan dengan mereka. Konsul Italia konon menolak, tetapi Konsul Amerika Serikat telah menyusun sebuah konsep perjanjian. Pemerintah di Batavia menganggap peristiwa ini sebagai peristiwa yang begitu berat hingga diputuskannya untuk unjuk gigi. Dikirmlah wakil ketua Dewan Hindia, J. F. N Nieuwenhuyzen sebagai komisaris ke Aceh, untuk meminta kejelasan dan jaminan untuk masa datang. Tetapi pada waktu yang bersamaan dikirimkan sebuah ekspedisi, sekiranya tidak diperoleh jawaban yang memuaskan. Ketika komisaris benar-benar tidak memperoleh kepuasan, diserahkannya kepada Sultan pada tanggal 26 Maret 1873 pernyataan perang yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Mr. J. Loudon. Dengan ini mulailah Perang Aceh, yang kira-kira akan berlangsung empat puluh tahun lamanya (Gesch. N. I, jilid V, halaman 361).
Kisah ini dramatis, yang juga praktis tidak benar sama sekali. Hari dan tanggal pernyataan perang cocok. Lainnya, kenyataan yang sesungguhnya jauh lebih dramatis, jauh lebih rumit dan jauh lebih manis untuk orang-orang Belanda berwatak tegas yang disebut di situ, Loudon dan Nieuwenhuyzen.
Pada tanggal 25 Januari orang Aceh berada di Singapura dan kemudian berangkat pada hari berikutnya. Pada tanggal 15 Februari, Loudon menerima telegram yang menggelisahkan dari Konsul Jenderal Belanda, Read. Dia telah menemukan "perselingkuhan-perselingkuhan yang amat penting" antara perutusan Aceh dan para konsul Amerika serta Italia. "Barangkali perlu tindak segera," kata kawatnya. Sehari kemudian diperolehnya berita lebih banyak. Para utusan membawa surat dari Sultan yang isinya meminta bantuan untuk melawan Belanda. Konsul Amerika, Studer berjanji segera menulis surat kepada Laksamana Jenkins, panglima suatu skuadron Amerika di Laut Cina Selatan. Studer mempersiapkan suatu traktat yang terdiri dari dua belas pasal, yang harus ditandatangani oleh Sultan. Konsul Italia menantikan surat selanjutnya dari Sultan, tetapi Kapten Racchia, yang sedang berada di Singapura, segera akan berangkat ke Aceh dengan dua kapal perang. Orang Amerika dua bulan kemudian baru siap.
Tentu saja: orang Amerika dan orang Italia yang telah begitu banyak merepotkan Betawi pada tahun-tahun lampau!
Loudon tidak ragu. Sejak tahun enam puluhan dia sudah murtad dari politik tidak campur tangannya, dan pendapatnya kemudian adalah: "Kepentingan umum menuntut sangat agar Aceh mengakhiri kedudukannya sebagai negara merdeka." Dia bahkan jauh melampaui menterinya. Pada tanggal 16 Februari, Loudon mengirim kawat dari Den Haag: "Konsul Jenderal Singapura memberitakan pengkhianatan Aceh. Perutusan telah meminta bantuan konsul Amerika dan Italia di sana melawan kita. Keduanya telah ikut campur. Akan berusaha mendesak pemerintah negara-negara lain agar tidak campur tangan. Konsul Amerika mengajukan traktat pada Aceh dan menyurati laksamana di Cina. Racchia menunggu dua kapal, menuju Aceh."
Menteri Fransen van de Putte tidak sepanik Loudon. Bagaimana ia pada jarak lima belas ribu kilometer harus mempertimbangkan soal itu? Dikenalnya Studer dan Racchia sebagai pengacau politik dan tukang intrik. Jawabannya kepada Loudon tidak mutlak. "Kalau Anda tidak meragukan kebenaran berita konsul Singapura, tidak boleh ragu-ragu lagi. Akan mengirimkan angkatan laut yang kuat ke Aceh untuk meminta kejelasan dan pertanggungjawaban untuk sikap bermuka dua dan berkhianat dan menentukan sikap Belanda terhadap Aceh sesuai dengan itu. Bila tidak dipenuhi secara memuaskan, angkatan perang harus dikerahkan, yang cukup mampu tiap saat memberi tekanan pada tuntutan. Jika disebabkan suatu persiapan mutlak perlu, juga guna kepastian tentang keadaan dan sikap sultan yang sebenarnya, tentunya jika kini masih mungkin, harus dihormati dan dibantu, bagaimanapun harus dikirim secepat mungkin angkatan laut untuk menimbulkan rasa takut seperlunya, dan mendahului serta mencegah campur tangan asing.
"Terhadap campur tangan demikian - yang diperhitungkan dan diketahui oleh pejabat-pejabat Belanda - mereka harus protes keras sebagai campur tangan yang tidak sah. Pentingnya persoalan menuntut, komisaris-komisaris ini dapat diandalkan. Mungkin perlu dilengkapi selanjutnya, karena mungkin saja yang satu sakit dan yang lain tidak dapat meninggalkan daerahnya. Barangkali wakil presiden Dewan Hindia dalam keadaan sekarang adalah yang paling cocok, karena mungkin gubernur Sumatera Barat juga tidak bisa berangkat."
Jadi, instruksi-instruksi menteri terinci sekali, sampai-sampai desakan kerasnya untuk mengangkat Nieuwenhuyzen, seorang sahabat pribadi Fransen van de Putte, sebagai komisaris pemerintah. yang menjadi pertanyaan hanyalah sejauh manakah informasi-informasi dari Singapura dapat dipercaya. Ketika dicari informasi di Roma, ternyata baik konsul Italia maupun Racchia tidak tahu-menahu tentang persoalan ini. Mengenai ini, Loudon kemudian menyatakan adanya kekhilafan dalam telegramnya ke Den Haag. Sebenarnya, dia ingin mengawatkan bahwa kapal-kapal perang Aceh mungkin akan berangkat menuju Aceh dalam ketergesa-gesaannya dia mengawatkan bahwa kapal-kapal ini akan berangkat, lebih daripada yang disampaikan Read.
Sayang, terjadi salah pengertian ini. Tetapi, akibatnya, mengenai tindakan Studer banyak sekali yang terungkap. Orang ini, demikian disampaikan Read kemudian, telah beberapa kali menerima perutusan Aceh dan malahan sempat menitipkan surat kepada mereka untuk Sultan. Salah satu di antaranya memuat konsep yang telah dibuat untuk suatu traktat Amerika-Aceh dalam dua belas pasal dan petunjuk bagaimana kemungkinan suatu serangan Belanda dapat dipatahkan, bila kapal-kapal perang Amerika yang dijanjikan itu tidak tiba pada waktunya. Semua ini disampaikan kepada Read oleh seorang yang dapat dipercayanya, Teuku Muhammad Arifin, yang menyaksikan sendiri pembicaraan-pembicaraan orang Aceh dengan Studer.
Sesudah Arifin menyampaikan ceritanya di Singapura, Read menyuruh mengirimkan dia kepada Residen Schiff di Tanjung Pinang (Riau). Pada tanggal 2 Februari, Schiff menanyainya dan dari dia diperoleh perincian mengenai kedua belas pasal Studer, antara lain hak-hak dagang istimewa, pertukaran wakil-wakil, dan perlindungan terhadap "tindakan-tindakan permusuhan". Tulis Read dalam penjelasannya sendiri kepada Loudon, "tidak akan ada bumiputra yang dapat mengarang-ngarang sendiri ketentuan-ketentuan yang demikian."
Pada tanggal 1 Maret, Arifin datang lagi ke Tanjung Pinang. Menurut ceritanya, pada pagi hari itu juga ia dipanggil Studer untuk menyampaikan sepucuk surat dan suatu instruksi untuk orang Aceh. Mestinya dia berangkat ke Aceh dengan membawa semua ini, tetapi abdi pemerintah yang setia ini atas permintaan Read menyampaikannya kepada Schiff. Artinya, padanya ada surat Studer kepada Tibang, dari instruksi-instruksi itu dia mempunyai sehelai salinan yang dibuatnya sendiri. Suatu rencana pertahanan yang aneh, suatu peta bagan dengan tulisan (bahasa Melayu): "Bila orang Belanda menyerang Aceh, barulah semuanya bersama-sama menyerang dan menghancurkan mereka." Peta itu juga menyajikan sebuah segi tiga yang terbagi dalam empat bagian yang tidak sama besarnya, yang rupanya bermaksud menggambarkan Aceh: dalam bahan-bahan itu terdapat petunjuk-petunjuk, seperti "5.000 orang dalam hutan ini" dan "5.000 orang di sebelah timur".
Dokumen-dokumen serta catatan-catatan apa yang disampaikan Arifin dikirimkan oleh Read dan Schiff kepada Loudon, yang mengirimkannya ke Den Haag sesudah berulang kali diterjemahkan dan disalin, sehingga peta bagan itu makin aneh kelihatannya.
Tidak luput dari penglihatan Fransen van de Putte bahwa pada semuanya ini hanyalah satu helai yang memuat tanda tangan Studer, yaitu surat kepada Tibang Muhammad tertanggal 1 Maret. Dokumen ini aslinya dikirim ke negeri Belanda (sekarang pun masih tersimpan dalam kearsipan di sana) dan barangkali tidak begitu sensasional dibandingkan dengan apa yang mungkin dapat diharapkan berdasarkan keterangan-keterangan Arifin: "Toenkoe Muhammad Arifin having stated to me that he was about to visit Acheen, and requested me to give him a letter to you. I can only say that I hope you reached your home and friends safely, and that I hope to have the pleasure of seeing you here again at no distant day. I am in good health, thank God, and hope that this will find you enjoying the sam blessing." Terjemahannya (Tuanku Muhammad Arifin menyatakan kepada saya bahwa ia bermaksud mengunjungi Aceh, dan dimintanya saya memberikan kepadanya sepucuk surat untuk Tuan. Tidak lain harapan saya mudah-mudahan Tuan selamat sampai di kalangan keluarga dan sahabat-sahabat Tuan dengan selamat. Mudah-mudahan saya akan dapat bertemu dengan Tuan di sini lagi segera. Saya sehat wal afiat, dan berdoa kepada Tuhan, semoga Tuan dalam keadaan selamat sejahtera ketika menerima surat ini).
Sesudah antiklimaks ini, yang jelas menyatakan bahwa setidak-tidaknya kali ini Arifin sendiri yang meminta sepucuk surat untuk Tibang, pada Schiff timbul sedikit keraguan tentang kejujuran serta keterandalan sang pemberi berita kepada Read ini. Sesudah kunjungannya yang pertama ke Tanjung Pinang, Schiff masih mengusulkan kepada Loudon agar membiarkan Arifin berangkat "seolah-olah atas kehendak sendiri" ke Aceh, tentu saja tidak sebagai utusan Studer, tetapi untuk melihat kalau-kalau ia dapat membujuk Sultan untuk menyatakan tunduk. (Read melarangnya karena terlalu mengundang bahaya bagi Arifin). Sesudah kunjungan Arifin yang kedua, Schiff bertanya kepada Read dalam sepucuk surat tertanggal 5 Maret dengan begitu banyak kata-kata "secara saksama sudi mempertimbangkan apakah kejujuran dan kesetiaan Arifin dapat sepenuhnya diandalkan."
Read berjanji akan menelitinya dan memberitahukan kepada Schiff hasil penelitiannya "kelak".
Seperti begitu sering kali terjadi, "kelak" berarti "terlambat".
Dalam pada itu, sudah terlalu banyak yang terjadi. Perang Aceh tidak dapat lagi dicegah, bahkan tidak oleh seorang menteri sekaliber Fransen van de Putte. 'Alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat', yang disebut Multatuli dalam suratnya, Surat kepada Raja, telah mencapai hasil. []
Keterangan:
Artikel di atas dikutip dari buku Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje karangan Paul van't Veer, halaman 27-32. Buku dalam bahasa Indonesia tersebut diterbitkan oleh PT. Grafiti Pers, Jakarta, 1985.
No comments:
Post a Comment