Friday, 20 May 2016

Orang-orang yang Memicu Pecahnya Perang Aceh

Fransen van de Putte dan Perang Aceh

Sepak Terjang Teuku Muhammad Arifin
 
Teuku Muhammad Arifin, yang karena keterangan-keterangannya kepada Read tentang 'pengkhianatan' Singapura menyebabkan pecahnya perang, mewakili tipe manusia Indonsia abad ke-19, yang telah dibicarakan dalam kisah pengkhianatan Singapura. Kata "manusia Indonesia" yang digunakan di sini - sebab tidak ada kata yang lebih baik - sebenarnya menyesatkan. Dia justru bukan orang Indonesia, dia tidak memiliki kesetiaan terhadap kerajaan mana pun di Nusantara, apalagi terhadap sesuatu yang tidak sempat terpikirkan pada abad ke-19 seperti suatu keseluruhan yang dapat disebut Indonesia. Petualang-petualang Sumatera dan Kalimantan ini merupakan imbangan, kadang-kadang lawan main, tetapi biasanya kaki tangan teman sejenis Eropa mereka. Terjadap siapakah seharusnya mereka menunjukkan kesetiaan politik? Orang Inggris dan Belanda adalah orang asing. Raja-raja mereka sendiri memerintah wilayah mereka sebagai miliki pribadi dan mereka bertindak menurut apa yang mereka anggap baik.

Arifin mengaku putra raja Moko-moko, sebuah kerajaan kecil di utara Bengkulu. Kadang-kadang sikapnya menunjukkan perasaan anti Belanda, karena ayahnya konon dimakzulkan Belanda ketika wilayah itu pada tahun 1825 diserahkan oleh orang Inggris. Jadi, di sini boleh jadi sepotong warisan Raffles mempunyai arti politik! Lebih besar, kemungkinannya bahwa Arifin adalah salah seorang cucu raja yang tidak sedikit jumlahnya dan anak seorang jaksa, penuntut umum pada pengadilan negeri di Bengkulu. Bagaimanapun, dalam kalangan keluarganya dia sudah dapat berbahasa Inggris sedikit dan kepandaian yang tidak lazim di Nusantara ini membuatnya dengan sendirinya berhubungan dengan Singapura dalam kegiatan dagangnya. Sering dia datang ke Aceh, dan dia kawin di sini dengan seorang kemenakan Sultan yang dulu. Paling jauh kira-kira demikianlah hubungan keluarga yang dapat dibayangkan dalam masyarakat seperti ini dan pada kerabat raja yang demikian. Dia menggunakan gelar martabat atau penguasa yang disebut dalam bahasa Melayu "tuku" dan dalam bahasa Aceh "teuku", yang harus dibedakan dengan gelar keagamaan "teungku" dan gelar kerajaan "tuangku".

Melalui perkawinan inilah pada tahun 60-an di Singapura, Arifin berhubungan dengan Sultan Trengganu, seorang raka taklukkan Siam di Semenanjung Malaka yang bertikai dengan raja pertuanannya, dan (cukup bodoh) meminta bantuan pada Inggris. Arifin bertolak dengan membawa persembahan hadiah-hadiah ke London. Di sini utusan Trengganu yang bijak itu tampaknya malahan diterima beraudiensi oleh Ratu Victoria. Walaupun demikian, perutusannya tidak berhasil; kiranya tidak terlalu lama kemudian Inggris yang sibuk menegakkan kekuasaannya di seluruh Malaka pun menempatkan Trengganu di bawah perlindungannya pula.

Kaitannya dengan Trengganu dan Siam-lah mungkin yang menghubungkan Arifin dengan Read sekembalinya ke Singapura. Read banyak urusannya di Siam. Pada tahun 1871 dia bertindak sebagai penuntun Raja Siam, Tsyulalongkorn, pembaharu yang terkenal, Rama Kelima (Anna dan Raja Siam), ketika beliau mengadakan kunjungan resmi ke Hindia Belanda. Berdasarkan jasa-jasanya pada kunjungan kenegaraan ini, William Read diangkat sebagai konsul Kerajaan Belanda di Singapura.

Pada tahun 1864, Arifin dan Read berkenalan. Read menerangkan kemdian bahwa pada berbagai kesempatan sebelum tahun 1873, Arifin telah diberinya bantuan. Sebelum Read berangkat pada bulan Januari 1873 untuk melakukan urusan bisnis, dia telah berbicara pula dengan Arifin dan meminta agar kepadanya diberitahukan secara tertulis tentang perkembangan di Aceh.

Tetapi Read bukanlah satu-satunya hubungan Arifin di Singapura. Ketika Arifin pada tahun 1872 mendengar kabar-kabar bahwa Amerika berminat membuat pangkalan armada di Kalimantan Utara, dan menawarkan jasa-jasanya kepada konsul Amerika Serikat, Studer, dia mengaku menjadi kerabat Sultan Brunei. Hal itu bukan tidak mungkin. Telah kita lihat bagaimana cerdiknya Arifin memilih teman hidupnya.

Tawarannya ditolak Studer, tetapi hubungan telah terjalin. Tidak lama kemudian Arifin datang lagi untuk meresek-reseknya. Kini tentang soal apakah Amerika punya minat untuk membuat perjanjian dengan Aceh. Dia ditolak. Pada bulan September, masih pada tahun 1872 juga, untuk ketiga kalinya Arifin mengunjungi Studer dan pada bulan Januari 1873 ia menggunakan kesempatan pada suatu kunjungan armada Amerika di Singapura untuk menyampaikan keinginan-keinginan Aceh, menurut yang ditafsirkannya, kepada Laksamana Jenkins. Perhatikanlah: semuanya ini adalah keterangan Arifin sendiri dan karangan-karangan musuhnya atau Studer. Semua ini dinyatakan dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan terhadapnya pada bulan Juli 1873 di Batavia.

Masih juga Studer tidak menerima baik rencana-rencana Arifin, yang tahap akhirnya (Januari 1873) jadi bersamaan waktunya dengan tugas Read kepadanya, agar mengikuti perkembangan di Aceh untuk Negeri Belanda. Pada tanggal 25 Januari 1873 utusan-utusan Aceh ini muncul di Singapura. Arifin begitu terbelakang tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh, sehingga ia sendiri pun sempat dikagetkan oleh kunjungan ini, walaupun delegasi sudah berada di Tanjung Pinang, yang begitu dekat letaknya di Riau, sejak sebulan sebelumnya. Hampir-hampir luput baginya kesempatan yang baik ini. Ketika malam harinya Arifin mendengar kunjungan ini. Tibang Muhammad, syahbandar Aceh, telah mendapat seorang penghubung untuk memperkenalkannya kepada Studer. Pada saat terakhir Arifin berhasil menyelinap masuk dengan menonjol-nonjolkan hubungannya dengan konsul Amerika itu, yang sama sekali tidak diketahui orang Aceh.

Tentang pembicaraan dengan Studer malam itu terdapat berita-berita yang berlawanan. Studer menerangkan kemudian, ketika kunjungan itu telah menjadi insiden internasional, bahwa dia sama sekali tidak mengusulkan perjanjian dengan Aceh, tetapi bahwa Arifin tampil dengan suatu teks. Orang Aceh hanya membawa sepucuk surat yang bersifat umum dengan meminta bantuan, yang tidak ditanggapinya. Sebaliknya, Arifin dalam berita-beritanya yang pertama kepada Read menyatakan bahwa Konsul telah merancang konsep suatu perjanjian yang terdiri dari dua belas pasal. Demikian menurut yang dinyatakan dalam telegram Read kepada Loudon dan dari Loudon kepada Den Haag. Demikianlah pula versi resmi tentang tuduhan yang dikemukakan pemerintah Belanda dalam Parlemen dan di Washington terhadap Studer.

Kendatipun demikian, Menteri Fransen van de Putte tetap bimbang. Pada bulan April dan Mei, ia mengirim telegram demi telegram ke Batavia dan Singapura meminta penjelasan selanjutnya. Keadaan menjadi gawat ketika Studer muncul dengan tuduhan-tuduhan balasan terhadap Arifin dan Washington dengan menyatakan bahwa mungkin ia telah terjebak oleh seorang agen provokator. Bukankah ia mendengar bahwa Arifin turut serta dalam ekspedisi Belanda ke Aceh? Bagaimana hal ini bisa cocok dengan tuduhan-tuduhan Belanda, yang justru harus dilancarkan baik terhadap Arifin maupun terhadap dia, Read? Dia menyatakan kesediaannya berbicara dengan Arifin untuk mengemukakan kebenaran yang sesungguhnya, dengan dihadiri oleh seorang anggota pemerintah kolonial Inggris di Singapura.

Bagi Den Haag persoalannya dari gawat menjadi peka. Pemerintah Singapura menyelidiki keadaan dan menyebut Studer memang "kurang hati-hati" tetapi terlalu percaya. Ketika duta Belanda di Washington dalam suatu pembicaraan dengan Menteri Hamilton Fish pada tanggal 15 Mei dikonfrontasikan dengan tuduhan-tuduhan balasan Studer, dia tidak dapat menjawab. Sesudah berita-berita pertama dari Den Haag, Fish masih sempat berkata tentang Studer "That man is a fool." Sekarang ingin pula dia mengetahui macam apa Arifin itu.

Ya, banyak lagi orang yang ingin tahu. Dalam suatu surat rahasia kepada duta di Washington, Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke van Herwijnen, menulis bahwa Amerika seharusnya didekati dengan "berhati-hati" agar tidak kehilangan kesediaannya. Tetapi mengenai tuduhan-tuduhan Studer: menurut informasi Gericke, barulah sesudah keberangkatan perutusan Aceh pertama kalinya Read berhubungan dengan Arifin. 'Baru ketika itulah Arifin yang dimaksud, yang menjadi kawula Hindia Belanda dan ketika itu bermukim di Singapura, berhubungan dengan pejabat-pejabat Belanda dan menawarkan jasa-jasanya, yang dianggap tidak boleh ditolak, mengingat pengetahuannya tentang Aceh, dan mungkin dengan harapan bahwa keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk mencari penyelesaian secara damai.'

Apakah Gericke memang tidak lebih tahu atau dengan sengaja menceritakan suatu kebohongan diplomatik? Yang pertama mungkin. Malahan pada bulan Juni - ekspedisi pertama ke Aceh gagal sama sekali dan yang kedua dalam persiapan - baik Den Haag maupun Batavia tidak memiliki keterangan yang lengkap. Apakah yang terjadi sebenarnya pada tanggal 25 Januari? Read banyak berjanji tetapi tidak pernah ada yang dipenuhinya. Konfrontasi Arifin dengan Studer, yang berulang-ulang didesakkan Fransen van de Putte, tidak terjadi.

Keterangan-keterangan William Henry Macleod Read

Barulah pada tanggal 15 Juni, Read menulis sepucuk surat dengan bahan-bahan kepada Gericke. Surat itu pastilah telah membenarkan beberapa dugaan yang dikhawatirkan, karena, kendatipun dilakukan macam-macam rembukan. Read tidak dapat menghindari kenyataan ini: 'Arifin-lah dan bukan Studer yang telah menyusun konsep perjanjian. Memang Studer pada pertemuan yang dimaksud membicarakan hal itu dengan orang-orang Aceh, tetapi, agar pasti dapat mengetahui isi trakat itu. Muhammad Arifin membuat suatu konsep, yang, seperti katanya, dalam bentuk perjanjian yang dilakukan antara berbagai negara dan Siam.' Kini menjadi lebih masuk akal pula bahwa, seperti yang telah dikatakan Studer dan tetap dipertahankannya, Arifin bukan pada pertemuan pertama Studer dengan orang-orang Aceh, tetapi kemudian datang kembali sendirian dengan rancangan itu.

Baru pada bulan Juli dikeluarkan laporan yang agak resmi tentang butir-butir persoalan. Laporan ini dalam bentuk serangkaian catatan pada penjelesan-penjelasan Studer. Tentulah Loudon agak kaget karenanya. Dalam surat pengantarnya ke Den Haag, dia menulis: Konfrontasi Arifin dengan Studer tidak terjadi karena Read berpendapat 'cukup mempunyai bukti-bukti di tangan akan keselingkuhan Studer. Tidak dapat saya sembunyikan bahwa jawaban ini mengecewakan saya, bagaimanapun kesalahan (Studer) tidak saya ragukan.' Bagian yang terpenting dari laporan Read berbunyi: Teuku Muhammad Arifin dulu dan sekarang pun bersedia memperkuat keterangannya atas sumpah dengan Quran bahwa perjanjian yang disusunnya secara garis besar untuk disampaikan kepada Konsul Amerika mirip dengan perjanjian antara Siam dan Belanda. Tetapi Mayor Studer keberatan terhadap ini, dan sambil membuka buku dibacanya beberapa syarat tertentu perjanjian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan oleh juru tulis konsulat. Ketika itu dan pada tempat itu juga Arifin mencatat hal itu, yang kelak merupakan dasar suatu perjanjian yang akan disusun di Aceh, dicap oleh Sultan dan kemudian dibawa kepada konsul, yang akan menyampaikannya ke Washington, sementara sehelai salinan kepada Laksamana Jenkins, yang akan mengirim sebuah kapal perang ke Aceh untuk memberikan perlindungan.

Jika memang keadaannya - jadi bila Arifin dalam cerita-cerita pertamanya telah berbohong, ketika dia mengatakan bahwa Studer yang telah membuat konsepnya dan telegram-telegram Read kepada Loudon paling tidak adalah gegabah - bagaimana harus dianggap pertemuan Arifin dengan Studer pada tanggal 1 Maret? Yaitu pertemuan ketika Studer katanya memberikannya surat dengan instruksi-instruksi dan rencana pertahanan.

Surat (yang isinya tidak lebih daripada menyampaikan harapan-harapan yang baik) kepada Tibang Muhammad sudah kita ketahui. "Instruksi-instruksi" itu begitu dipalsukan secara kanak-kanak, sehingga selanjutnya tidak lagi disebut-sebut di dalam bahan-bahan itu. Peta bagan dengan rencana pertahanan terhadap suatu serangan Belanda ternyata, seperti kita lihat sebelumnya, merupakan sekadar peta mainan. Pembelaan Studer - bahwa Arifin atas prakarsa sendiri pada tanggal 1 Maret datang kepadanya dengan permohonan agar menitipkannya sepucuk surat untuk Aceh - selanjutnya tidak ditolak oleh Read.

Bagi orang yang cukup arif di Batavia, mestinya kesangsian terhadap kejujuran dan kesetiaan Arifin sudah dulu-dulu timbul. Baru pada tanggal 27 April, sekretaris Pemerintah Hindia Belanda menanyakan kepada Read hadiah apa yang harus diberikan kepada Arifin untuk jasa-jasanya. Apakah Read begitu ingin memberikan uang dalam jumlah yang banyak kepadanya atau menawarkan kepadanya jabatan empuk, karena keterangannya toh dapat juga mencegah bahwa Aceh dikuasai Amerika?

Sama sekali tidak. Dengan sangat menahan diri, Read menjawab bahwa dia sulit memberikan anjuran. "Di tempat ini dan dengan pengawasan yang ketat dia dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat sekali, (tetapi) memang pada umumnya dapat dikatakan orang tidak bisa terlalu mengharapkannya. Dia berambisi dan gelisah terus, sebagian karena memang begitu sifatnya, dan sebagian untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya. Mungkin yang terbaik adalah memberikan suatu jabatan kecil kepadanya di salah satu pulau sini' dengan begitu dia dapat berjasa kepada pemerintah."

Sementara itu, pada tanggal 10 Maret, Read membayar kepada Arifin seratus ringgit Spanyol dan pada tanggal 7 Mei ~ sesudah kembali dari ekspedisi Aceh ~ 273 ringgit lagi. Kemudian dia diberi uang harian lima gulden, kemudian dinaikkan menjadi delapan gulden, suatu jumlah yang cukup banyak.

Tetapi di Batavia dan di Buitenzorg, kini orang ingin juga berkenalan sendiri dengan Arifin. Pada bulan Juli dia ditanyai oleh tidak kurang dari Jenderal G. Verspijck, yang diangkat oleh Loudon menjadi panglima tertinggi, sesudah meninggalnya Jenderal Kohler. Karena ekspedisi terlalu cepat kembali, Verspijck tidak sempat berangkat ke Aceh. Sejak itu dia sibuk di Batavia mempersiapkan ekspedisi kedua sebagai Kepala Biro Perlengkapan Perang Sumatera.

Arifin muncul di depannya dengan sebuah buku harian; disampaikannya apa yang terjadi di tempat Studer. Ceritanya sudah diketahui, tetapi beberapa perinciannya belum. Dan kini ternyatalah untuk pertama kali bahwa informasinya kepada Read mula-mula disampaikannya dalam sepucuk surat ke Bangkok, karena di tempat inilah ia tinggal pada bulan Januari untuk menyelesaikan urusannya. Surat itu tidak pernah sampai kepada Read. Banyak waktu berharga yang terbuang. Mengapa Arifin di Singapura tidak serta merta memberikan keterangan kepada wakil konsul Belanda, Maier di kantor Read? Hal ini tidak terjadi, jawab Arifin atas pertanyaan Verspijck, karena toh Tuan Maier tidak akan mempercayainya!

Pada bagian dalam laporannya, ketika Arifin menceritakan bahwa dalam suratnya kepada Read telah menulis "kirim semua kapal perang Belanda ke Aceh", Verspijck tidak dapat lagi menahan diri. Dengan tanda seru tebal ditulisnya di tepinya: "Pengkhianat!" Kesimpulan Verspijck ialah: "Saya pribadi beranggapan bahwa Arifin melakukan yang pertama' (yaitu menyertai perutusan Aceh ke tempat Studer)' karena ia adalah tukang selingkuh yang lihai, yang mencari keuntungan, atai dianggapnya mendapat keuntungan, dengan mengabdi kepada konsul Amerika. Baru setelah perbuatan jahat itu dilakukannya, rahasia itu disampaikannya kepada kita."

Arifin telah kembali pulang ke Singapura, dan di situ namanya tercantum hingga sekarang dalam arsip-arsip konsulat sebagai penerima uang harian sampai tahun 1876 - sejauh arsip-arsip ini tidak dimakan rayap, sebagaimana terjadi dengan begitu banyak arsip Hindia. Kemudian dia pun lenyap dalam kabut sejarah yang ia sendiri ikut menciptakannya.

Read dapat bertahan lama, walaupun di Den Haag segera juga timbul kesangsian tentang kejujuran kesetiaannya. Loudon terdesak dengan informasinya, bagaikan anjing terrier menggigit mangsa yang terlalu besar, tidak sanggup menelannya, tetapi tidak bisa pula melepaskannya. Tidak dapat dia menyanglal Read tanpa menyangkal dirinya sendiri. Pada tanggal 9 April 1873, ia mengusulkan kepada Fransen van de Putte agar memberikan anugerah kerajaan kepada Read. Apabila jasa-jasa demikian diabaikan tanpa ganjaran, akan timbul kesan di luar bahwa orang tidak percaya kepada mereka. Ada setahun penuh lamanya, barulah Read "karena jasa-jasanya yang ditunjukkannya dalam Perang Aceh"" menerima bintang Commandeur van de Nederlandse Leeuw, salah satu tingkat tertinggi dari berbagai orde kesatria. Menteri Gericke memerlukan waktu lebih lama untuk mempertimbangkannya. Pada bulan April dikirimnya seorang diplomat berpengalaman, Mr. W. F. H. von Weckerlin, duta di Tokyo, sebagai "duta dalam tugas luar biasa" ke Singapura untuk menguji keterangan-keterangan Read.

"Mula-mula, Tuan Read menganggap kehadiran saya bukan sebagai hal yang terpuji, dan sang mata-mata itu pun diterima dengan sangat hormat, tetapi dengan sikap sangat berhati-hati," demikian laporan Von Weckherlin. 'Sekarang segala sesuatu dalam hal itu berlangsung seperti yang diinginkan.' Tentang Arifin tidak dicantumkannya apa pun. Menurut jurnalnya, dia tinggal dari tanggal 16 Maret sampai 8 Mei dalam ekspedisi Aceh. Tentang Racchia, Von Weckherlin melaporkan: "Kasus Italia ini tampaknya tidak diapa-apakan, tetapi setiap saat bisa saja digarap lagi. Sebelum keberangkatannya yang terakhir ke Eropa tampaknya Racchia mengatakan: 'Tout est a refaire' (semuanya beres). Tentang Amerika: "Suatu campur tangan langsung Amerika Utara dalam perkara kita dengan Aceh tetap tidak mungkin terjadi. Dalam pada itu, kita harus berhati-hati terhadap orang-orang swasta Amerika Utara." Dan akhirnya pendapat Read ini: "Tampaknya bagi saya, di Singapura sini Tuan Read benar-benar orang yang tepat."

Dengan ini tindakan Read pada bulan Januari tampaknya memang dapat dipertanggungjawabkan. Orang boleh saja menyebut Arifin "pengkhianat tiga kali lipat" dengan semua tanda seru di seluruh dunia, tetapi masih selama sepuluh tahun kemudian pemerintah Belanda tetap mengandalkan berita-berita dari SIngapura pada Read. Namun, seperti sering terjadi dalam soal-soal politik, pengganti Gericke dalam suatu kabinet konservatif, boleh saja orang berpikir sesuka ati, "Dia sendiri tidak sedikit sumbangannya sehingga terjadi perang kita dengan Aceh dan kita telah memberi penghargaan yang tinggi kepadanya untuk jasa-jasanya selama perang itu, yang menurut keterangannya sendiri sangat diharapkannya dan akan dijadikannya jaminan untuk kerja sama dengan dia selanjutnya." Perang Aceh dapat diakhiri dalam waktu singkat dengan baik. Semakin jauh akhir perang itu tertunda, makin jelas orang teringat bahwa semua penderitaan diplomatik, nasional dan kolonial ini, sekiranya pun tidak oleh, tetapi toh dimulai dengan sepucuk telegram dari Read kepada Loudon.

Pada akhir tahun 70-an nada dalam surat-menyurat resmi mengenai kedudukan Read jelas mengandung kejengkelan. Ketika itu ia terlibat dalam pendirian British North Borneo Company, yaitu sebuah perusahaan menurut model VOC lama atau India Company Inggris, yang diat mengusahakan konsesi-konsesi dari Sultan Brunei. Hampir-hampirlah merupakan peristiwa James Brooke baru. Meskipun pendiri-pendiri utama North Borneo Companu, James Drent dan Baron De Overbeck ~ petualang-petualang internasional ~ tidak menyatakan bahwa mereka bukan "raja kulit putih" di Kalimantan Utara, praktis perusahaan mereka dalam waktu yang singkat telah menguasai seluruh pemerintahan. Juga ini merupakan daerah yang diperebutkan. Belanda punya hak-hak lama atas Kalimantan seluruhnya. Sultan Sulu di Filipina dan - melalui dia - Spanyol masih negara kolonial, menyatakan berhak atas daerah itu karena Brunei seratus tahun sebelumnya konon telah menyerahkan daerah ini kepada Sulu.

Mula-mula Read adalah salah seorang Direktur British North Borneo Company. Ketika Belanda memprotes adanya bantuan yang konon diberikan Inggris kepada perusahaan ini, dia menarik diri sebagai direktur, tetapi tetap sebagai pemegang saham dan agen dagang yang terpenting di Singapura. Ini menimbulkan amarah. Di samping itu, kini diketahui bahwa Read atas kuasa sendiri telah mengesahkan paspor orang-orang Jawa yang naik haji ke Mekkah dengan bayaran f 2,50 untuk tiap visa.

Pada tahun 1883 dalam suatu surat-menyurat yang dilakukan dengan penuh empsi antara Menteri Luar Negeri W. F. Rochussen dan Gubernur Jenderal Mr. F. s'Jacob dipersiapkan pemecatan Read. Barulah dalam korespondensi ini peranannya dalam apa yang disebut pengkhianatan Singapura, bagaikan dongeng masuk dalam sejarah, disingkapkan. Sekarang tibalah "Saat Kebenaran" dapat dikumandangkan, meskipun terlambat. Pertama, karena Rochussen dan s'Jacob dalam korespondensi mereka mau blak-blakan. Kedua, karena situasi di Aceh sesudah sepuluh tahun perang tidak pernah seburuk ketika itu, sehingga orang mudah mencari kambing hitam.

Dalam sepucuk surat tertanggal 16 Januari 1883 ("Frits yang Baik") Rochussen menulis bahwa menurut dia 'kini sudah tiba waktunya menyingkirkan Read dari kantor kita'. Sesudah kecaman-kecaman terhadap gerakan Kalimantan-nya. Read menyatakan kesediaannya memasuki jabatan menjadi konsul yang digaji dalam dinas Belanda, tetapi menurut Rochussen ini merupakan bukti yang jelas bahwa Read semata-mata mengejar kepentingan keuangan. 'Ada soal yang lebih gawat, yang ingin sekilas saja saya singgung, yaitu Aceh. Bila orang memperhatikan bagaimana sejarah yang membawa malapetaka ini dimulai dan bahwa kita selama dan sesudah perang masih juga mempertahankan seorang asing dalam kantor kita di Singapura - maka tidak ada seorang politikus pun di luar Negeri Belanda akan percaya pada kemungkinan suatu hubungan yang demikian. Saya tidak percaya bahwa di dunia pernah orang melihat hal demikian: demi kehormatan pemerintah kita, saya menganggap perlu bahwa dalam ini terjadi perbaikan. Demikian pula, demi keamanan kepentingan-kepentingan kita di masa datang.'

s'Jacob ragu bertindak. Dia menjawab bahwa Read adalah orang pertama di Tanah Melayu. Dan tiba-tiba saja dia menarik kepercayaan kita, dan kita 'melepaskan jotosan di rahangnya'? Menurut s'Jacob, lebih baik Read dibiarkan kepada kedudukannya sampai dia berhenti sendiri beberapa tahun kemudian.

Dan dalam replik Rochussen, yang tetap menghendaki pembebasan tugas, muncullah kemudian pengakuan ini, "Saya pribadi berkeyakinan bahwa Read berperanan besar sekali dalam membuat kesalahan kita yang terbesar itu dan yang merupakan bencana terbesar dalam sejarah kita selama setengah abad terakhir (Perang Aceh). Dia sendiri telah memperoleh keuntungan di dalamnya dan baginya itulah yang paling penting."

Ini ditulis Rochussen empat belas hari sebelum kabinet meletakkan jabatan. Penggantinya, lagi-lagi Van der Does de Willebois, tidak membiarkan perkara itu berlarut-larut. Pada bulan Juni "atas permintaan" Read terhitung mulai 1 Maret 1885 dibebaskan dari tugas sebagai konsul Jenderal Belanda di Singapura. []


Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, PT. Grafiti Pers, Jakarta, 1985, halaman 41-49.

No comments:

Post a Comment

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis