Peredaran matahari sudah sampai ke puncak, segala manusia dan hewan, masing-masing hendak beristirahat. Burung yang terbang di lapangan cakrawala sudah mencari pohon-pohon kayu yang rindang hendak bernaung karena ngangahnya. Kijang, rusa, badak, gajah, harimau dan sebagainya binatang-binatang besar dan buas hendak mengasau dan sedang mengempaskan dirinya di tempat yang rindang. Demikian juga segala binatang-binatang yang jinak seperti kerbau, sapi, kambing, dan sebagainya sedang berbaring pula di bawah pohon-pohon atau tempat yang teduh di bawah cakrawala ini. Segala manusia yang lagi menjalankan pekerjaannya, baik di ladang, baik di sawah, baru saja sampai ke halaman rumahnya. Ada yang sedang berbaring, ada yang sedang mandi-mandi dan ada yang sedang duduk di muka hidangan, yang sudah disajikan oleh sang isteri yang semenjak pagi telah menyingsingkan lengan bajunya untuk persediaan bakal persiapan suaminya, tatkala itu masing-masing sedang sibuk atau sedang mengasau ataupun sedang berdiri di pintu rumah halamannya menantikan pulang suaminya.
Orang yang tinggal berumah di ladang atau dusun yang berjauhan dengan Kuta Alam yang sedang beristirahat itu, terkejut karena mendengar letusan itu. Maisng-masing mereka itu lari mengambil alat senjata dan mengikat pinggangnya, berkemas-kemasan dengan tetap hendak turun keluar, karena menyangka kalau-kalau kapal musuh telah bertimbun di Kuala hendak menyerang negeri. Kebanyakan isteri berteriak dengan menyebut: makan dahulu baru turun, sebab sebagaimana adat, kebiasaan dari kaum isteri, pantang suaminya berjalan menuju medan peperangan sebelum masuk suji (nasi) dalam perutnya. Kesesalan dan keaiban yang sangat besar terasa oleh kaum isteri bila suaminya meninggal dalam peperangan dengan perut kosong. Bukan suaminya yang ditangisinya tetapi nasi atau sarapan yang tinggal terhantar, yang sejak pagi telah disediakan.
Bagi orang-orang yang tinggal berdekatan dengan kuta, suami dan isteri, baik pun pihak para menteri, bentara, hulubalang atau para orang besar serta kaum sipa-i dan hamba raja, tatkala mendengar letusan itu, mendatangkan kesukaan dan ria, seakan-akan bahagia itu telah masuk ke dalam rumah halamannya. Yang sedang berbaring tegak berdiri lalu berhias-hiasan, yang sedang makan merasa telah puas kenyang, lalu berdiri berkemas-kemas memakai cindai pelangi, ikai, keruncung, baju tengkuluk dan rencong kelewang hendak menuju istana yang baru memperoleh bahagia itu, karena mereka itu telah memaklumi, bahwa seorang putera diraja yang sudah 9 bulan ditunggu-tunggu dalam kandungan ibundanya, pada saat itu, di masa tengah hari benar (teungoh cot uroe timang) telah lahir ke dunia. Hidang terbuka, piring terkapar, dan pintu ternganga, para isteri dan suami meninggalkan rumah halaman, berlari-lari menuju kuta istana. Dalam beberapa saat halaman kuta istana sudah penuh sesak dengan segala mereka itu yang datang dari segala ponjokan. Yang datang dengan berlari-lari, terngangah-ngangah yang berjalan dengan tenang mukanya berseri-seri serta senyuman yang manis dipandang orang. Hamba sipa-i dan rakyat yang miskin, sedang bergalut merebut-rebut kain, hibahan raja persalinkan fakir miskin sebagaimana yang dinazarkan Baginda. Alim ulama dan para orang-orang besar sedang tertawa terbahak-bahak di atas balairung, melihat mereka itu yang sedang rebut-merebut kain putih itu. Sementara itu pula datang Syahbandar dan Haria Peukan membawa berkodi-kodi kain sutera dan pelangi untuk persalinan para orang-orang besar dan biti-biti dalam astana.
Rama Setia, Bentara Dalam, sedang sibuk menghiasi perkarangan istana, lari ke sana, lari kemari pergi memeriksa orang-orang yang sedang bekerja memasang tanglong sekeliling halaman istana. Berpuluh kerbau, lembu dan kambing disembelihkan untuk perjamuan fakir miskin, alim ulama, dan para orang-orang besar, Bentara, Hulubalang negeri.
Sekalian kaum wanita dalam istana sedang sibuk pula bekerja untuk segala ayapan, bunyi dalong dan puan cerana, bertalu-talu. Perang Kuta Batu pun terjadilah tatkala itu, dengan amat dahsyatnya. Berketi-keti rayat Kunyit dan rayat Lombok yang menjadi kurban karena datang menyerang Kuta Batu. Mayor Cong Api yang sedang gembira dan perkasa dalam kuto Tiga, memperlihatkan bukti dan saktinya berterbangan ke udara yang menerbitkan tangisan orang karena yakin dan dahsyat. Rangkaya-rangkaya dan biti-biti sedang asyik berkecimpung di dalam tuwi Teluk Belanga, masing-masing menunjukkan kebaktiannya kepada Suri dan Maharajanya.
Pada hari yang ketujuh diadakanlah adatan yang disebutkan orang dengan peucicap, menurut sepanjang reusam negeri. Sehabis dahar pagi, para Rangkaya-rangkaya duduk berkeliling di depan pancarena dengan menghadapi hidangan ayapan beretih, beras padi dan rumput sedingin alat ramuan peusijuek (tepung tawar), inang bidan lalu mendekati bayi itu yang terbaring di atas keta pencarena. Seorang perempuan tua tatangkan sebuah piring emas yang di dalamnya terletak hati ayam. Inang bidan itu lalu membalik-balik hati ayam itu 7 kali dengan menyebutkan satu dua sampai tujuh kali, sebagai hati ayam ini dibalik-balik, begitulah nanti hati bayi itu berbalik-balik tatkala melaksanakan suatu perkerjaan atau tatkala bertentangan dengan musuh, sehingga terbitlah akal dan fikiran yang mendatangkan bahagia. Sesudah dibalik-balik tujuh kali itu, lalu diletakkan pada ujung lidah bayi itu, kemudian diangkat dan diturunkan balik ke dalam piring emas itu dan rukun reusam itu pun selesailah.
Tujuh hari tujuh malam orang-orang berngangah-ngangah dalam mengerjakan peralatan perjamuan Seri Baginda Sultan Alauddin Mansursyah kepada segala fakir miskin, dan sekalian orang-orang besar dalam negerinya untuk melepaskan hajat nazar Baginda dan permaisuri, bukan kepalang banyaknya hamba rakyat yang puja-puji akan Seri Baginda serta permaisuri yang murah dan harimullah itu, dengan mendoakan mudah-mudahan Allah akan membalas kemurahannya itu dan dengan tiada merasai letih dan payahnya, setelah selesai peralatan itu, masing-masing pulanglah mereka ke rumahnya.
Baca juga kelanjutannya di bagian 2, Iskandar Muda di masa bayi
H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957, halaman 13-15
No comments:
Post a Comment