Thursday, 19 May 2016

Kohler dan Perang Aceh Pertama

Johan Harmen Rudolf Kohler, pimpinan agresi pertama Belanda ke Aceh yang akhirnya tewas karena kebodohannya sendiri

Pertama Kali ke Aceh
Sesudah telegram dari Den Haag tertanggal 18 Februari yang memberikan program bertindak, Loudon pun giat bekerja. Sesudah Menteri menyampaikan sarannya secara jelas, ia mengangkat Nieuwenhuyzen, wakil ketua Dewan Hindia dan dalam kedudukan ini nomor dua dalam hierarki Hindia, sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi militer ekspedisi terhadap Aceh ialah Mayor Jenderal J. H. R. Kohler, komandan teritorial Sumatera Barat. Kohlerlah orang yang tepat. Berdasarkan perintah Loudon, sudah lama ia sibuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan di atas kertas telah dihitungnya berapa banyak pasukan dibutuhkan yang akan diperlukan dalam suatu ekspedisi yang mungkin dilakukan. TTernyata sesudah isyarat-isyarat pertama dari Den Haag pada tahun 1871, Loudon sudah memperhitungkan diadakannya suatu operasi militer. Tentara Hindia Belanda mengenal staf umum. Panglima dari gerakan-gerakan penghukuman masing-masing menentukan rencana pertempurannya sendiri. Demikian pula, biasanya tidak lebih banyak informasi mereka peroleh dibandingkan dengan bahan amat singkat yang dapat dikumpulkan Kohler dari cerita-cerita para pedagang, musafir, dan mata-mata.

Kohler adalah orang self made. Masa Pemberontakan Belgia sempat masih dialaminya sebagai kopral. Berangsur-angsur dia naik dalam Tentara Hindia menjadi kolonel; untuk ekspedisi Aceh ini pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal. Operasi ini akan merupakan gerakan militer terbesar yang pernah diikutinya sebagai perwira.

Kolonel E. C. van Daalen menjadi komandan kedua. Berbeda dengan Kohler, ia keturunan keluarga "Hindia" sejati yang anggotanya banyak dalam angkatan bersenjata dan dalam kedudukan-kedudukan swasta yang penting; salah seorang kemenakannya adalah redaktur Java Bode, pengganti Busken Huet.

Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpunkan kekuatan pasukan yang terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa; di samping itu juga suatu batalyon "barisan" Madura, pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwira Eropa. Jika orang ingin mendahului orang Amerika (tidak seorang pun lagi yang terpikir akan intervensi Italia, tetapi di Washington belum terdapat reaksi atas tindakan Konsul Studer), maka perlu tindakan yang cepat. Lagi pula, musim barat biasanya jatuh bersama hujan badai besar di Sumatera Utara pada akhir bulan April. Dengan alasan itu pula gerakan terhadap Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar telah dilaksanakan.

Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang, sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai tukang pikul, narapidana yang harus melakukan "kerja paksa di luar pulaunya sendiri". Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 orang perempuan Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon, menurut ketentuan ekspedisi tradisional delapan orang setiap kompi, dan akhirnya tiga ratus orang pelayan perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin.

Mengumpulkan ekspedisi yang demikian pun - ini merupakan pemindahan penduduk kecil-kecilan - sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah mempersenjatai infanteri secara layak. NIL tengah beralih dari menggunakan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi menggunakan bedil Beaumont modern yang diisi dari belakang - sebenarnya larasnya masih juga panjang-panjang, dan dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu. Tetapi setidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip menembak cepat. Tentu saja kalau orang mahir menggunakannya. Dan inilah justru kekurangan batalyon-batalyon Aceh. Batalyon ke-XII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beaumont. Batalyon ke-IX memperoleh bedil-bedil baru iti tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III masih harus menggunakan senapan isi depan. Memang ada satu batalyon di Jawa yang terlatih baik menggunakan bedil-bedil baru itu, tetapi (tidak mungkin menarik pasukan pilihan dari seluruh Jawa) tidak diikutsertakan. Kan tidak akan sampai sehebat itu keadaan di Aceh!

Mengerahkan ekspedisi tidak mudah. Mempersenjatai ekspedisi lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh ruang kapal untuk mengangkut ekspedisinya. Seperti dikawatkan Lpodon ke Den Haag, keadaan angkatan laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadikan enam kapal perang kecil siap berlayar. Dua kapal pemerintah dan enam kapal Nederlands Indische Stoomvaart Maatschappij - perusahaan Inggris yang segera memperoleh untung besar dari Aceh - akang mengangkut pasukan, dengan sejumlah kapal layar tua yang ditarik.

Keinginan Loudon adalah segera sesudah tanggal 18 Februari akan mengirim Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Angkatan ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk, sehingga baru pada tanggal 7 Maret dua kapal perang siap berlayar. Sementara itu, kepanikan di Batavia diperhebat ketika Gubernur Jenderal mengetahui berita kawat yang telah diterima oleh salah satu perusahaan dagang di Betawi dari Hong Kong: Laksamana Jenkins benar-benar berangkat ke Aceh dengan satu skuadron dari "pangkalan Cina". Kelak ternyata telegram itu tidak pernah ada; sekarang jadinya bagaikan menyiram minyak ke dalam api.

Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret. Kendati pun dia terlambat berangkat, Loudon dan Fransen van de Putte masih belum juga sependapat mengenai instruksinya. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah sang sultan Aceh serta merta harus dihadapkan pada pilihan: mengakui kedaulatan Belanda atau perang. Loudon menganggap hal ini mutlak perlu. Fransen van de Putte tetap sedikit banyak masih samar-samar. Terutama ketika pada hari keberangkatan Nieuwenhuyzen akhirnya diterima berita dari Washington bahwa Studer tidak diberi kuasa untuk membuat perjanjian dengan Aceh dan bahwa pemerintah Amerika juga tidak menerima suatu berita apa pun tentang masalah ini. Maka, pertentangan antara Den Haag dan Batavia semakin menjadi-jadi.

"Perasaan geram" ternyata masih bersumber dari telegram-telegram Loudon. Seperti pada telegram tanggal 9 Maret 1873: "Tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali pengakuan kedaulatan. Tanpa ini ekspedisi tidak ada artinya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya." Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan Pinang (artinya pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga telegram bertubi-tubi terus. Menteri tetap bersikeras bahwa alternatif tegas Loudon sebagai tuntutan pertama, 'di sini dan di tempat lain, akan memberi kesan buruk'. Pendiriannya tetap: 'Mulai dengan meminta pada Aceh kejelasan, pertanggungjawaban, penyelesaian yang memuaskan, mengadakan perjanjian.'

Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini bergantung pada keadaan. Pada tanggal 19 Maret, Nieuwenhuyzen meneruskan pelayarannya ke Aceh. Seminggu berlalu untuk mengadakan rembukan. Sang Sultan dan para penasehatnya (Habib Abdurrahman ternyata tidak hadir) berusaha mengluru waktu dan tdak cukup memberikan "penyelesaian yang memuaskan". Pada tanggal 26 Maret, Nieuwenhuyzen memaklumkan perang kepada Aceh. Alasannya? Aceh "telah bersalah melanggar penjanjian niaga, perdamaian, dan persahabatan yang dibuat pada tanggal 30 Maret 1857 antara Aceh sendiri dan pemerintah Hindia Belanda".

Pagi berikutnya kapal yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan meriam ke arah sebuah benteng pantai, yang sibuk dikerjakan orang pada hari-hari yang lalu. Perang telah dimulai.

Den Haag sejak tanggal 19 Maret, sama sekali berada dalam ketidakpastian. Pada tanggal 2 April, koran-koran Belanda menerbitkan sebuat telegram Reuter dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah tidak menerima berita apa pun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwenhuyzen. Fransen van de Putte telah meminta Loudon menyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar pada waktu yang bersamaan ia dapat memberitahu Den Haag dan Batavia. Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku kode. Jelas, dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April, kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April, Den Haag sendiri sehari kemudian - pada hari pasukan-pasukan pendarat melakukan pengintaian. Pendaratan pasukan pokok yang sesungguhnya menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang pertama, Perang Aceh secara militer pun lain dari pada semua perang yang terdahulu.

Bila di Nusantara dianggap "normal" bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum, pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat, sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang. Hanya dengan sangkur mereka yang tidak praktis, serdadu-serdadu itu sempat dapat mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat orang Aceh itu. Artileri orang Aceh pun lebih baik daripada yang pernah mereka hadapi. Pada hari pertma Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.

Rencana Kohler

Rencana perang Kohler sederhana. Akan didirikannya sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai Aceh, dan di sini mereka maju menuju keraton, kediaman Sultan, yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut pengertian NIL telah terlaksanakanlah pekerjaan yang utama. Begitu pusat pemerintahannya dikuasai, Aceh pasti akan menyerah.

Tetapi di mana tepatnya letak keraton, orang tidak tahu. Bagaimana amat miskinnya informasi mereka, ternyata dari Buku Saku Ekspedisi Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya dikemukakan bahwa keraton adalah "sebuah tempat yang luas dan besar, yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawahm lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim." Dalam kenyataannya, temoat Sultan bersemayam paling-paling hanya beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai dibandingkan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya dan kampung Cina yang kecil. Pada uraian ini disertakan sebuah "gambaran bagan figuratif Afdeling Utama Aceh, dengan menggunakan gambar-gambar perlambang yang sebenarnya sangat tidak figuratif kelihatannya. Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan-jalan semuanya tidak cocok dengan yang digambarkan. Keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut dalam ekspedisi, tetapi tidak mempunyai peranan apa pun.

Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari keraton, pada tanggal 11 April, ditemukan sebuah benteng yang semula diduga adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa bangunan di dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan benteng itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam. Segera pula orang Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini lagi-lagi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan itu dengan menderita kerugian berat.

Dia sendiri merupakan korban dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu itu pada tanggal 14 April, sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh ekspedisi kehilangan semangat. Mestinya orang sudah bisa meragukan pandangan strategis seorang panglima tertinggi yang mula-mula menduduki suatu kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian menyuruh menaklukkan. TTetapi penggantinya Kolonel Van Daalen tidak ditinggali suatu rencana perang apa pun. Kohler sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya.

Dalam keadaan yang tidak menguntungkan barisan maju lagi menuju keraton. Garis hubungan dengan bivak pantai, yang hanya beberapa kilometer dari masjid letaknya, senantiasa terancam oleh pasukan-pasukan gerilya, yang pejuang-pejuangnya memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati, menyerbu batalyon-batalyon serdadu Hindia itu. Tengah malam terjadi sergapan dan penembakan. Pada tanggal 16 April, dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton. Mereka dipukul mundur dengan korban seratus orang mati dan luka.

Malam hari itu Van Daalen melakukan sidang dewan perang di medan. Para kolonel umumnya berpendapat harus mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain sekali daripada yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian dimusyawarahkan di kapal Citadel tentang nasib ekspedisi selanjutnya. Menurut para perwira, "ternyata sudah musuh gigih yang melawan lebih besar kekuatannya". Komandan Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba dengan turunnya hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air. Baik keamanan kapal-kapal maupun 'hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan darat' tidak terjamin, sehingga pengiriman bala bantuan yang telah diputuskan oleh Batavia pun tidak akan ada artinya lagi.

Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa untuk memerintahkan ekspedisi kembali dan ini diperolehnya pada tanggal 23 April. Dua hari kemudian pasukan pun masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka. Jadi, hampir lima ratus dari tiga ribu, itulah kerugian akibat Perang Aceh pertama, yang ulang-alik perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu.

Usaha yang gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan masih pula dibentuk panitia penyambutan di Batavia. Ketuanya Tuan Kleijn, bekas komandan artileri. Tidak ada pesta pora, tetapi penembak meriam ini berseru kepada pasukan yang kembali pada tanggal 11 Mei: 'Anda berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!"

Dari ucapan terima kasih Kolonel Van Daalen ternyatalah bahwa tidak setiap orang di Batavia sependapat dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. 'Anda menunjukkan bahwa Anda tidak tergolong dalam tumpukan besar orang tolol, yang menilai suatu ekspedisi semata-mata dari hasil, tanpa memperhatikan keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya", kata-katanya pahit.

Dan benarlah, tumpukan orang tolol demikian memang ada, dan ke dalamnya termasuklah orang-orang seperti Gubernur Jenderal sendiri yang harus mendukung dan mempertanggungjawabkan beban kegagalan itu. Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami oleh orang-orang sejati tempo doeloe, bahwa suatu ekspedisi yang kalah bukanlah berarti kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap usaha perang di Nusantara. Tidakkah sudah tiga ekspedisi yang dikirimkan ke Bali, Sulawesi Selatan lima, dan ke Kalimantan pun entah sudah berapa? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan pengepungan terus-menerus barulah empat ribu orang NIL yang diperlengkapi dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan di sana, dapat merebut benteng Bonjol di gunung dari kaum Padri? Nah, NIL pun akan mengambil balas pula di Aceh.  

Tapi kali ini semuanya jadi berbeda. Ini bukanlah akhir dari suatu ekspedisi yang dengan cara yang sama - hanya perlengkapannyalah yang sedikit lebih baik - akan terulang lagi. Ini adalah perang yang kalah, perang terakhir tempo doeloe. Seperti juga penghapusan Tanam Paksa, mukjizat Deli, atau pembukaan Terusan Suez, perbedaan antara Perang Aceh yang pertama dan yang kedua menandai peralihan zaman lama ke zaman baru di Hindia Belanda. []



Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, terjemahan oleh tim Grafitipers, PT. Grafiti Pers: Jakarta, 1985, halaman 32-37.

No comments:

Post a Comment

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis