Thursday, 19 May 2016

Perhitungan Waktu di Aceh

Proses peredaran bulan
Nama-nama Bulan

Penanggalan pada perayaan-perayaan yang berhubungan dengan agama, di Aceh sama dengan yang dipakai oleh orang Melayu dan orang Islam lain pada umumnya, yaitu memakai tahun kamariah (lunar year) yang lamanya sekitar 354 hari. Tahun yang sama dengan bulannya dipakai pula dalam kehidupan sehari-hari untuk menentukan waktu, akan tetapi, beberapa nama bulan berbeda dengan nama yang biasa dipakai dalam bahasa Arab. Sebagian besar nama dari nama itu diambil dari tradisi atau kebiasaan yang memang khusus untuk bulan-bulan tersebut. Untuk sebagian, nama-nama itu dalam bahasa Arab tetapi diucapkan dalam lafaz Aceh dan umumnya sudah dipahami oleh kalangan yang terpelajar. 

Supaya lebih jelas, di bawah ini dicantumkan ikhtisar nama-nama itu:
  1. Muharram atau Asan-Usen (nama untuk memperingati Hasan dan Husein pada tanggal 10 Muharram)
  2. Safar atau Sapha 
  3. Rabi'ul Awwal atau Molot (dari kata maulud: memperingati hari lahir Muhammad. Ada kalanya juga disebut Rabioy Away) 
  4. Rabi'ul Akhir atau Adoe Molot (yaitu adik lelaki Molot, sebab lahirnya Nabi juga diperingati dalam bulan ini. Ada kalanya disebut juga Rabioy Akhe)   
  5. Jumadil Awwal atau Molot Seuneulheuh (yakni akhir Molot, sebab bulan ini pun masih dipakai untuk memperingati lahirnya Muhammad. Kaum wanita sebagai pemelihara segala sesuatu yang lama atau kuno di Aceh, menamakan pula bulan ini Madka Phon, yang berarti "yang pertama bebas". Adakalanya bulan ini disebut juga Jumado Away)  
  6. Jumadil Akhir atau Khanduri Boh Kayee (yakni kenduri atau persembahan buah-buah secara keagamaan. Wanita yang kolot menyebutnya Madika Seuneulheueh yaitu yang terakhir bebas. Adakalanya bulan ini disebut Jumado Akhe)  
  7. Rajab atau Khanduri Apam (yakni kenduri kuah apam, disebut juga Rajab atau Ra'jab
  8. Sya'ban atau Khanduri Bu (yakni kenduri nasi, juga disebut Sya'banm atau Sa'ban
  9. Ramadhan atau Puasa atau Ramalan atau Ramulan 
  10. Syawwal atau Uroe Raya (bulan perayaan) atau Syaway 
  11. Dzul Qa'dah atau Meu-apet (terjepit/terhimpit) atau Doy Ka'idah 
  12. Dzul Hijjah atau Haji atau Doy Hijah 
Hari-hari dalam Seminggu


Nama-nama hari dalam seminggu mempunyai nama Arab dan dalam lafaz Aceh sebagai berikut:
  1. Minggu atau Aleuhat
  2. Senin atau Seunayan
  3. Selasa atau Seulasa 
  4. Rabu atau Rabu 
  5. Kamis atau Hameh
  6. Jum'at atau Jeumeu'at
  7. Sabtu atau Sabtu 
Permulaan Bulan

Menurut ajaran Syafi'i dari hukum Islam, penetapan tanggal perayaan yang berhubungan dengan agama tidak boleh ditetapkan dengan perhitungan, tetapi awal setiap bulan ditetapkan dengan melihat bulan baru. Seperti misalnya, bulan sebelum bulan puasa, menurut perhitungan ialah 29 hari, hari berikutnya belum boleh dianggap sebagai permulaan puasa kecuali hal itu menurut hukum yang sudah ditetapkan, telah disaksikan oleh sejumlah orang bahwa mereka sudah melihat bulan baru pada malam sesudah hari ke 29. Kalau bulan tidak tampak, maka bulan itu harus dianggap 30 hari penuh, walaupim ada astronomi atau ilmu pengetahuan/falak.

Walaupun orang Islam di Nusantara ini menganut ajaran Syafi'i, tetapi ru'yat tidak diikuti secara merata, dan di berbagai daerah orang tetap memakai perhitungan (hisab), yang menurut paham tadi dalam kehidupan sehari-hari boleh dipakai untuk hal-hal yang tidak bersifat khusus. Baru kemudian di bawah pengaruh Mekkah dan Hadramaut, di Jawa orang makin lama memakai ru'yat. 

Di Aceh sejak dahulu kala orang memakai "perhitungan". Para ulama dapat mengatasi berbagai keberatan, yang berhasil mereka temukan dalam kitab-kitab hukum, yakni lapisan udara di daerah ini jarang cerah sehingga bulan sabit tidak selalu terlihat pada hari pertama pemunculannya.

Sebab itu di dalam keputusan-keputusan Sultan ada peraturan yang mengatakan bahwa awal bulan puasa setiap tahun harus ditetapkan oleh suatu dewan para ahli, pada hari Jum'at terakhir bulan sebelumnya. Hari itu diumumkan kepada rakyat dengan tembakan meriam pada hari sebelumnya. Menurut ajaran ru'yat, hal seperti ini tidak mungkin.

Di Aceh ada beberapa ulama yang mengetahui beberapa pokok astronomi Arab (dari abad pertengahan) yang mereka pakai sebagai dasar perhitungan. Biasanya yang dipakai sebagai bahan rujukan ialah tabel (daftar) yang dimuat dalam buku-buku pelajaran Melayu, tanpa mengetahui cara tabel itu diperoleh dan tanpa memikirkan perlunya ralat atas kesalahan yang mungkin timbul di kemudian hari.

Cara Menghitung Penanggalan

Kiranya cukup dengan memberikan uraian tentang keterangan yang tersebut di atas. Tahun dibagi menjadi 8 kelompok dan setiap 8 tahun ini mempunyai huruf Arab sendiri; nilai huruf-huruf ini menjadi angka tahun. Oleh sebab urutan 8 tahun tersebut tidak berubah-ubah, kita hanya perlu mengetahui huruf tahun sebelumnya untuk segera mengetahui tahun yang sedang berjalan. Tanpa pengetahuan ini, orang dapat pula mengetahui huruf tahun hijrah.

Ke-12 bulan masing-masing mempunyai pula huruf mereka dan nilai dalam angka dari huruf itu ialah angka untuk tahunnya. Kalau kita tambahkan angka suatu tahun kepada angka bulan tertentu, jumlah yang didapat menunjukkan bagaimana mencari hari dari minggu itu, yakni hari pertama dari bulan dalam tahun yang bersangkutan.

Untuk penerapannya: kita mulai dengan hari minggu itu yang memulai daur tahun. Karena hari itum setiap 120 tahun mundur satu tempat, menurut penyesuaian yang harus dilakukan dalam sistem tersebut, maka ada 7 cara menghitung, masing-masing disebut menurut hari-hari dari minggu tadi, seperti Ahadiyyah, Ihalathiyyah, Arba'iyyah, Khamsiyyah, Jum'iyyah, dan Sabtiyyah. Daur-daur yang mulai dengan Rabu atau Kamis, kini umum dipakai di berbagai bagian Nusantara.

Daur 8 tahun yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
  1. Aleh (ا) memiliki nilai angka 1
  2. Ha (ه) nilai angka 5
  3. Jim (ج) nilai angka 3
  4. Zoe (ز) nilai angka 7
  5. Day Away (د) nilai angka 4
  6. Ba (ب) nilai angka 2
  7. Wee (و) nilai angka 6
  8. Day Akhe (د) nilai angka 4
Cara mengolah huruf satu tahun Hijrah adalah tahun yang bersangkutan dibagi 8 dan sisanya dihitung ke bawah menurut urutan huruf tahun seperti tercantum di atas, dimulai dari wee. Contoh: tahun 1309 dibagi 8 memberi sisa 5, dimulai dari wee ke bawah, kita akan sampai di jim, jadi jim adalah huruf untuk tahun itu. Untuk menghafal urutan huruf untuk tahun itu maka diucapkan sekaligus, menjadi satu kata, dengan bantuan huruf vokal, ah jizdabuda (اَحْجِزْدَبُوْدَ)

Urutan huruf untuk bulan sebagai berikut:
  1. ذ  = 7
  2. ب  = 2
  3. ج  = 3
  4. ه  = 5
  5. و  = 6
  6. ا  = 1
  7. ب  = 2
  8. د  = 4
  9. ه  = 5
  10. ذ  = 7
  11. ا  = 1
  12. ج  = 5
Misalnya kita ingin mengetahui hari pertama bulan pertama bulan puasa di tahun 1309, maka angka tahun itu ditambahkan dengan angka bulan puasa, yakni bulan ke-9 dari tahun dan angkanya 5. Jumlah 3+5=8, lalu dihitung pada hari dalam minggu dimulai dengan Rabu, diurut ke bawah lalu ke atas lagi dan kita mendapat hari Rabu sebagai hari permulaan puasa.

Angka-angka untuk bulan dihafal pula dengan menjadikannya satu kata dengan bantuan huruf hidup (vokal) sehingga berbunyi zabjih wa abdih zakjan (ذَبْجِهْ وَ أَبْدِهْ ذَأْجً)

Jadi mudahlah untuk menghitung, bahwa dalam daur 8 tahun maka tahun ke-2, 5, dan 7 adalah tahun kabisat dengan 355 hari, maka bulan-bulan ganjil mempunyai 30 hari. Jadi, setiap tahun kelebihan 1/120 hari.

Pembagian Hari yang 24 Jam Lamanya

Sebelum melanjutkan tinjauan ke-12 bulan dalam tahun Islam untuk melukiskan secara lebijh terinci hari-hari besar atau perayaan utama dan kebiasaan umum yang berhubungan dengan agama, berikut ini beberapa keterangan mengenai pembagian hari yang 24 jam lamanya itu.

Menurut kisah-kisah dan pepatah-pepatah kuno, kadang-kadang ditemukan pembagian siang dan malam dalam jam yang dikenal secara umum, tetapi sudah tidak mempunyai arti dalam praktik; baik siang maupun malam (masing-masing dipisah oleh matahari terbit dan terbenam), dibagi dalam empat bagian yang sama, sehingga tiap bagian lamanya hampir 3 jam, dalam bahasa Arab satu bagian itu dinaman zam, dan kaum Muslim di Nusantara ini mengambil alih pembagian dan nama (jam 1 atau jeuem) dari orang Arab. Kemudian di negara Melayu dan tanah Jawa, nama itu diterapkan untuk jam terdiri dari 60 menit. Di Aceh tidak terjadi perubahan itu dan kata itu tetap mempunyai arti semula.

Penunjukan yang kini paling lazim tentang perbedaan siang dan malam, pada hakikatnya sama dengan yang terdapat di Jawa; di antara nama-nama itu ada yang diambil dari pembagian waktu menurut agama yakni beberapa waqtu (Aceh: watee) atau jangka waktu untuk wajib sembahyang. Sedangkan yang lain diambil sebagai dasar kegiatan sehari-hari, waktu makan, dan lain-lain.

Ukuran Lain dan Batas Waktu

Penetapan waktu yang sudah populer, pada hakikatnya berbeda dengan yang dipakai oleh orang Melayu, Jawa, dan lain-lain.
  • Siklep mata (sebentar, sekejap mata)
  • Cah ranup sigapu (waktu yang diperlukan untuk mengunyah sekapur sirih sampai lumat, kira-kira 5 menit)
  • Masak bu sikay breueh (waktu yang diperlukan untuk menanak nasi satu kay sampai matang, sekitar setengah jam)
  • Masak bu sigantang breueh (waktu yang diperlukan untuk menanak nasi satu gantang sampai matang, sekitar setengah jam
  • Masak bu sinaleh breueh (waktu untuk menanak nasi satu naleh, sekitar tiga jam)
  • Sikhan uroe (setengah hari, kira-kira enam jam)
  • Si uroe seupot (sehari penuh)
Untuk membedakan hari ini dengan hari-hari sebelumnya dan yang akan datang, dipakai:
  • Beuklam (tadi malam, menurut pengertian di Aceh malam ini, sedangkan hari mulai dengan terbenamnya matahari; jadi apa yang kita namakan kemarin malam)
  • Baroe (kemarin, hanya siang saja)
  • Baroesa (kemarin dulu)
  • Baroesa jeh (sehari sebelum kemarin dulu)
  • Singoh (besok)
  • Lusa (lusa)
  • Lusa raya (besok lusa)
Untuk menunjukkan hari dari bulan, orang menjawab atas pertanyaan "berapa hari bulan?" (padum uroe buleuen?) dengan: "satu, dua, dan seterusnya, hari bulan" (si uroe, dua uroe, buleuen). Untuk hari pertama dan hari ke-30 dari bulan, dipakai urutan yang terbalik seperti (buleuen si uroe, buleuen lhee ploh). Hari pertama bulan berikutnya dinyatakan dengan: (kalau) bulan tampak (buleuen leumah), dan hari-hari selanjutnya dari bulan itu dengan "dua, tiga dan seterusnya hari bulan tampak", maka dikatakan dalam bahasa Aceh (dua, lhee uroe buleuen luemah). Bulan yang lampau dikatakan: "satu bulan sebelumnya" atau "satu bulan yang sudah lewat", misalnya hari ke-4 bulan yang lalu dengan peuet uroe dilee atau buleuen nyang ka abeh. []


Catatan:
Artikel di atas adalah salah bagian dari tulisan karya Snouck Hurgronje yang berjudul Aceh di Mata Kolonialis halaman 221-230. Buku tersebut diterjemahkan oleh Ng. Singarimbun, dkk yang diterbitkan oleh Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985.

No comments:

Post a Comment

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis