Monday, 23 May 2016

Iskandar Muda - Masa Turun Tanah

Hari Senin 12 hari bulan Syawal, berduyun-duyun hamba Allah kampung halaman, rumah ladangnya dengan memikul berbagai-bagai ragam hasil jerih payahnya, tebu yang berdaun, kelapa yang telah disusun, sebagai buah tangan kehormatan menuju Kota Alam. Sejak pagi hari telah bersedialah Rama Setia menghiasi pekarangan istana dan balai keemasan. Alam pedang (bendera kerajaan) telah dikibarkan angin di ujung tiangnya. Tidak berapa lama mulailah satu per satu orang besar-besar datang masuk ke istana, dari sesaat makin bertambah ramai datangnya. Berbaris-baris batang pisang dan tebu kehormatan (tebu berdaun) telah terpancang sepanjang jala raya di muka pintu gerbang, sekeliling balai keemasan dan pagar istana. Rama Setia mondar-mandir kian kemari melaksanakan segala perbekalan dan penyiapan untuk menyempurnakan pekerjaan kehormatan itu. Kira-kira setelah dahar pagi, segala orang besar-besar dan tamu agung laki perempuan telah cukup hadir. Barisan sipa-i telah berdiri tegak lurus dengan senapang di tangannya letak terdiri parade. Rama Setia telah berdiri tegap di pangkal barisan, cuma menanti titah apabila letusan kehormatan itu dimulai.

Di depan tangga istana telah berdiri berbaris-baris orang besar dan dalam pekarangan puri penuh hamba rakyat dina mulia. Di dalam istana pun sibuk segala perwira dan biti-biti bantu membantu ke sana sini menolong putri-putri dan rangkaya-rangkaya akan menyiapkan ini dan itu untuk menghiasi pancapersada. Setelah siap dalam mahligai, lalu memberi tahu kepada Paduka Sinara bahwa segala alatan dan ayapan, di dalam, semua siap sedia. Kadhi Malikul Adil dan Seri Maharaja Lela Laksamana dengan dua hulubalang pengiringnya naik ke atas mahligai untuk menjemput putra mahkota itu, lalu menghampiri pancapersada, tempat tidur putra bahagia itu. Beberapa saat kemudian turunlah rombongan agung terdiri itu dari atas astana. Baru saja menginjak anak tangga satu satu, letusan kehormatan pun berbunyi bertalu-talu, 7x7 Kadhi Malikul Adil berjalan di muka yang diikuti oleh Seri Maharaja Lela Laksamana. 

Sesampai laksamana menginjak tanah itu, menghunuskan pedangnya lenggang ke kiri, lenggang ke kanan dengan sikap yang amat perkasa dan garang, lalu menjinjing tiga batang pisang yang tertanam di situ. Barisan parade yang tegak berdiri di situ pun lalu melepaskan tembakan bedilnya ke atas udara sebagai letusan kehormatan pula akan menjadi isyarat yang sudah menjadi reusam pada kepercayaan orang supaya bila budak itu besar tiada takut akan guruh bunyi senapang di dalam peperangan. Riuh gempitalah bunyi bedil dan meriam kehormatan tatkala itu. Setelah habis rebah batang-batang pisang itu, lalu putera yang dalam dukungan Laksamana, dibuka dan diletakkan kepalanya di bawah langit-langit kain kuning telur (ija kuneng bungong piek). Sementara itu orang besar Nek Nanta Setia Raja mengambil sebuah kelapa, ditimbang-timbang di atas langit-langit itu yang bertentangan dengan kepala putera di Raja, setelah cukup pula syarat dan rukun, kelapa itu dibelah dua, airnya dicucur di atas kain kuning tadi sehingga menyentuh pula kepala putera di Raja yang didirikan di atas tanah. Kelapa yang dibelah dua itu sebelah dibuang ke sebelah kanan kain kuning tempat berdiri kaum walinya dan sebelah lagi dibuang ke sebelah kanan kain kuning tempat berdiri kaum kerabatnya.

Syarat-syarat yang dikerjakan itu ialah artinya melambung-lambung dan membelah kelapa itu supaya budak itu kalau besar tiada takut akan petir halilintar dan tak takut pula akan segala gertak orang atau musuh dalam peperangan atau lain-lain tempat. Belahan kelapa itu dibuang ke kiri dan ke kanan tempat waris kaumnya berdiri, pengertiannya supaya kedua belah pihak wali ahli waris itu sama sayang menyayangi atau bela membela dalam segala hal. Setelah perbuatan itu selesai, putera itu lalu disambut oleh Raja, dicium pada dahinya dengan menyebutkan kata-kata yang manis dan indah. Demikianlah berturut-turut dikerjakan oleh orang besar yang lain dan tetamu agung sehingga terus dibawa naik ke atas balairung. Sesudah selesai upacara di situ, barulah diantarkan putera kembali ke istana. Semenjak mulau hari itulah putera itu dan seumumnya kanak-kanak boleh diturunkan ke tanah (keluar dari rumahnya) dan barulah boleh dibawa ke rumah-rumah keluarga atau ke rumah orang lain sahabat kenalannya.

Sekianlah upacara peralatan menurunkan putera di Raja ke tanah, yang dirayakan oleh segenap pembesar-pembesar negeri dan rakyatnya. Maka segala reusam-reusam itu dituruti oranglah sehingga sekarang menjadi adat lembaga (tradisi) di seluruh negeri Aceh.

Lanjut baca bagian 4 Masa Kecil

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 18-19.

No comments:

Post a Comment

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis