Sunday, 22 May 2016

Peringatan Mereka yang Berdiam Diri

Deijkerhoff dianggap sebagai kambing hitam karena telah dikelabui oleh Teuku Umar.
Di antara hikayat perang, kisah-kisah kepahlawanan Aceh, terdapat sebuah tulisan yang namanya saja telah merupakan penemuan cemerlang. Yaitu "Peringatan Mereka yang Berdiam Diri". Tadzkirat ar-Rakidin. Naskah itu ditulis dalam bahasa Arab resmi, yang bagi negeri-negeri Muslim timur menjadi semacam bahasa Latin untuk gereja. Hikayat ini merupakan kumpulan risalah yang menyatakan adanya sultan, yang dalam usia tiga belas tahun pada tahun 1884 oleh para 'raja pemilih' dinyatakan menjadi dewasa dan dinobatkan, dituduh terlalu lemah - suatu tuduhan yang rupanya ditujukan kepada para walinya, hulubalang-hulubalang yang utama. Mereka sendiri sempat mendengar kecaman bahwa "mereka terpecah-belah oleh soal-soal kuman, hingga tidak melihat gajah yang mengancam mereka semua". Rakyat desa tidak turut berperang dan bahkan beberapa orang ulama yang tetap duduk termenung di atas tikar sembahnyangnya atau menggunakan dana peperangan yang dipercayakan kepada mereka untuk membangun masjid-masjid di daerah pedalaman.

Penulis hikayat ini, yang menyerukan kepada seluruh Aceh untuk berperang dengan hebat melawan "sampah kemanusiaan", yaitu Belanda, adalah salah seorang ulama yang paling giat pada masa konsentrasi belakangan, bernama Teungku Kuta Karang. Walaupun dia mengeluh, banyak sekali orang semacam dia yang tidak tinggal diam, ketika orang-orang Belanda memang berbuat demikian. Antara tahun 1884 dan 1896 terdapat kegiatan yang hebat di luar lini. Namun, ini merupakan perjuangan untuk berkuasa, yang selain berlangsung di dalam lingkungan sendiri juga dilakukan terhadap kaum kafir Belanda.

Seperti juga sejak dulu-dulu, taruhannya adalah siapa yang memperoleh kekuasaan tertinggi di seluruh negeri: kaum agama yang memiliki banyak sifat suatu partai rakyat, atau kaum feodal. Tidak ada dari kedua golongan ini yang sependapat. dan keduanya sama-sama menghadapi kesulitan dari para petualang tipe Teuku Umar, yang sekaligus melakukan perang sabil, perang suci, terhadap Belanda, melakukan penyergapan-penyergapan di daerah pantai barat dan tidak pula enggan menguasai dana perang muslim di sanan-sini.

Teungku Syekh Saman di Tiro adalah pemimpin kaum agama, tetapi bukan saingan. Sultan telah menganugerahkan kepadanya gelar Kepala Agama, yang dalam tahap terdahulu dipakai oleh Zahir Abdurrahman. Namun, tetap dia mempunyai saingan-saingan seperti Teungku Kuta Karang dan seorang keramat dari Samalanga yang bernama Habib Samalanga. Teungku Kuta Karang jelas melakukan sindiran dalam peringatannya kepada Teungku Syekh Saman dengan ucapannya tentang mendirikan masjid-masjid di pedalaman. Walau demikian, adalah Tiro yang dalam tahap perang paling menonjol di depan. Ia menekankan bahwa perang suci haruslah dilaksanakan seluruhnya menurut peraturan-peraturan agama, barulah Allah memperkenankan hasil. Dia berhasil menghimpunkan pasukan-pasukan yang baik persenjataannya dan teguh disiplinnya, yang terdiri dari ratusan anggota, kadang-kadang dengan bantuan desertir-desertir Belanda yang disambutnya dengan gembira. Ia mengirimi para hulubang surat dengan anjuran-anjuran, seperti: "Takutilah Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa dan kerjakanlah suruhan-suruhan-Nya; jauhi apa yang telah menjadi larangan-Nya, anjurkanlah kaum Muslimin berbuat demikian dan suruh mereka bersiap melakukan perjuangan terhadap kaum kafir." 'Jangan terpedaya Tuan-tuan dengan kuasa kafir ini dan banyak hartanya dan kuat perkakasanya dan banyak serdadunya dibandingkan dengan kuasa kami dan harta kami dan perkakas kami dan rakyat Muslimin karena tiada kuasa dan tiada yang kaya dan tiada yang banyakan tentaranya melainkan Allah Yang Maha Besar dan tiada yang memiliki manfaat dan mudarat melainkan Allah dan tiada yang memberi teladan menang melainkan Allah yang memiliki sekalian alam'.

Antara tahun 1884 dan 1889, Syekh Saman bahkan berulang kali mengirim surat kepada pemerintah di Kutaraja. Di dalamnya ia menganjurkan orang Belanda masuk Islam. 'Jika Tuan-tuan dengar dan turut seperti nasihat kami ini dapat untung baik, dapat kemegahan, jadi Tuan akan menjadi kepala kami dan dapat harta, seperti mereka yang telah lari ke pihak kami telah memperoleh harta dan hidup dengan senang dan berjalan tanpa mengikuti perintah orang lain, tenang tidur dan makan tanpa menghindari mereka atau menyalahkan mereka, bebas sebagai burung di hutan dan ikan dalam air, dan mendapat sejumlah wanita yang baik-baik dan tidak bergaul dengan orang lain, semua menurut hukum-hukum Islam.'

Pasukan gerilya Teungku Kuta Karang dan Habib Samalanga sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan kekuatan militer Teungku di Tiro dan kelima orang putranya, yang semuanya telah memainkan peranan penting dalam perang. Keluarga Tiro merupakan contoh baru akan sifat menurun Perang Aceh, karena tiga generasi wangsa ini jadi syahid, mati sebagai pahlawan agama, atau sebenarnya saksi, mati syahid'.

Tiro tua pada tahun 1959 dinyatakan sebagai pahlawan nasional. Dia tercantum pada prangko-prangko seri Pahlawan, dan di Jakarta ada sebuah jalan raya yang menggunakan namanya. Penghormatan anumerta ini diperolehnya bersama dengan seorang pahlawan Aceh yang selama hidupnya dicurigainya: Teuku Umar. Nama Teuku Umar kini menghiasi - wahai ironi Indonesia - Van Heutsz Boulevard dulu di Jakarta.

Siasat Teuku Umar

Umar berasal dari keturunan hulubalang di pantai barat. Berangsur-angsur dia berhasil meluaskan kekuasaannya dengan menanggulangi kebun-kebun ladanya dengan baik, dengan kecerdasan, tipu daya, keberanian, perkawinan-perkawinan yang menguntungkan, teror, dan entah apa lgi. Pada tahun 1870 dia kawin dengan putri hulubalang yang fanatik, Cut Nyak Din, yang besar pengaruhnya baginya. Seperti Syekh Saman diangkat oleh Sultan menjadi Raja Laut. Gelar-gelar ini mempunyai satu persamaan: artinya bisa segala apa saja atau sama sekali tidak apa-apa, bergantung kepada si pemakainya memberikan isi pada gelar-gelar ini.

Termasuk ke dalam taktik Umar adalah mengadakan pendekatan berkala pada Belanda dalam masa panen lada tiap tahun jika dia mencari kemungkinan pengapalan. Antara panen dan gairah dia memainkan peranan satria penyamun berdasarkan kebangsaan atau kedaerahan, dengan menggunakan ketentuan ajaran-ajaran agama. Pada zaman Nisero dia telah memainkan peranan, pada tahun 1866 dia sendiri membuat perkara Nisero. Pada tanggal 14 Juni, dia menyerang besama gerombolannya ~ pilihan antara kata-kata verzetsgroep (kelompok perlawanan) dan bende (gerombolan) yang begitu berbeda isi perasaannya, yang dalam kisah Aceh kadang-kadang sulit, tidak menjadi masalah di sini ! kapal api kecil Hok Cantin, yang memuat lada di Teluk Rigas di pantai barat dan menyelundupkan senjata. Dengan kedok hedak bertemu secara bersahabat mereka naik ke kapal, dan tiba-tiba saja Teuku Umar dan orang-orangnya menerkam perwira-perwira kapal orang Eropa.

Kapten Hansen, orang Den, dan juru mesin Robert McCullogh dibunuh, istri kapten dan juru mudi satu dibawa untuk menuntut uang tebusan. Kapal itu dirampok dan ditinggalkan, kemudian awak kapalnya orang-orang Melayu melayarkannya ke Olehleh. Tampaknya peristiwa Nisero berulang. Sebagiannya memanglah begitu. Koran-koran Pinang dan Singapura mencaci maki habis Belanda lagi, tetapi dalam hal ini jelaslah, berbeda dengan peristiwa Nisero, bahwa para pemilik irang Hok Canton di Pinang-lah dalam perdagangan selundupan seperti ini yang harus menanggung risiko sendiri. Bencana militer seluruhnya diulangi. Sebuah ekspedisi kecil yang dikirim dari Olehleh ke seberang harus kembali dengan sia-sia. Nyonya Hansen, yang menderita luka, dan Fay diangkut ke sana kemari. Kemudian mereka dibebaskan dengan uang tebusan 25.000 ringgit.

Tindakan Raja Laut ini memang merintangi pendekatannya pada panen lada berikut, tetapi beberapa tahun kemudian Gubernur Van Teijn toh menyetujui usaha-usaha pendekatan yang baru. Sikap menanti pihak Belanda tampaknya sesudah tahun 1888 mendatangkan hasil. Dalam daerah yang berbatasan dengan Lini dan yang sesungguhnya paling mendapat rintangan dari blokade pantai, beberapa pemuka lagi "memperlihatkan tanda-tanda pendekatan" (bahasa jabatan). Kutaraja dan Batavia hampir-hampir tidak menyadari bahwa kecuali blokade ada lagi ancaman lain terhadap kekuasaan mereka yang mendorong kaum hulubalang: tekanan kaum ulama.  

Terdapat optimisme besar di Kutaraja. Bukankah tersebar desas-desus bahwa di Keumala, sebuah kota di hulu Pedir tempat kedudukan istana, terjadi perpecahan hebat habis-habisan dan bahwa sultan beberapa waktu harus minta perlindungan Panglima Polim di Aneuk Galong? Desas-desus ini benar dan sesudah pertentangan itu diselesaikan dalam kelompok istana pun, garis pemisah antara mereka yang tidak kenal damai dan mereka yang ingin mengadakan pendekatan jelas terlihat. Pada tahun 1889 terhadi hubungan-hubungan tidak langsung dengan Keumala. Tetapi bersamaa dengan itu para hulubalang di daerah perbatasan Lini Konsentrasi yang mencari pendekatan begitu diancam oleh kelompok-kelompok ulama dan saingan-saingan yang lain, sehingga harus diberikan perlindungan militer dari lini. Pada bulan Oktober 1890 bahkan sampai-sampai perantara-perantara resmi berkunjung ke Keumala. Teuku Nek dan pemuka-pemuka lainnya yang bersahabat bertolak dengan membawa hadiah-hadiah yang berharga menghadap Sultan dan diterima dengan ramah. Pemerintah Hindia menyatakan kesediaannya untuk mengakui Sultan dan memperkenankannya memerintah di bawah tampuk kedaulatan Belanda. Barangkali Sultan lebih mengerti dari Kutaraja dan Betawi bahwa tidak akan pernah dia dapat menjadikan kedudukan yang demikian kenyataan. Dengan naiknya kaum ulama, maka kekuasaannya yang sebenarnya menjadi lebih kecil daripada sebelumnya. Walaupun berbagai perantara memperoleh hadiah yang besar-besar untuk pekerjaan mereka (seorang Arab yang tampaknya agak mempunyai pengaruh di Kutaraja bahkan ditawari lima puluh ribu gulden bila ia dapat membujuk Sultan), tidak ada sesuatu yang kongkret terjadi.

Ini merupakan konstatasi belakangan. Pada tahun 1891 kelihatannya terjadi kebalikannya. Pada bulan Januari timbul harapan baru. Tidak lama tiba-tiba meninggal berturut-turut dua orang pemimpin perlawanan yang paling sengit terhadap Belanda dalam dua kelompok perlawanan: Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Kematian mereka ternyata tidaklah mempunyai arti sepenting yang diduga. Perlawanan menjadi terpecah-pecah, tetapi dengan demikian belum berarti lebih mudah menghadapinya. Walau demikian, baik di kalangan hulubalang maupun di kalangan ulama tidak timbul lagi pemimpin-pemimpin dengan wibawa moral yang begitu besar seperti Tiro tua dan Panglima Polim. Anak-anak mereka memang mewarisi gelar dan pangkat, tetapi tidak mewarisi wibawa mereka. Putra sulung Syekh Saman, yang juga disebut Teungku di Tiro ~ nama yang sebenarnya Teungku Mat Amin ~ bukan tandingan bapaknya. Panglima Polim yang baru, kepala sagi Mukim XXII, lebih mempunyai prestise. Kepemimpinan feodal memang mempunyai pewaris yang lebih baik daripada kekuasaan kerohanian. Tetapi dia bukanlah pula seorang pemimpin besar benar-benar.

Teuku Umar yang paling beruntung dari senjakala kekuasaan. Ada tanda-tanda bahwa menurut anggapannya dia akan dapat mewujudkan mimpi lama yang menguasai Habib Abdurrahman dulu-dulu: memimpikan tahta sultan, setidak-tidaknya kedudukan yang sama di bawah tampuk kedaulatan Belanda. Tetapi juga terdapat sebab-sebab praktis mengapa dia memperbaharui pendekatannya. Pada bulan Januari 1892 tiba seorang gubernur militer baru, Kolonel C. Deijkerhoff. Dia meniupkan napas baru pada pengaturan pelayaran kapal yang baru. Terutama di pantai barat blokade dipertajam dan di sanalah Umar memiliki kebun-kebun ladanya.

Ada pula keterangan yang ketiga mengapa Umar bersikap demikian. Tanah asalnya ialah daerah Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi. Pada tahun 1891 beberapa gerombolan ulama masuk ke sana melakukan tindakan-tindakan yang bersifat perampokan dan penggarongan. Umar menawarkan diri untuk membasmi gerombolan-gerombolan ini bila pemerintah mengampuninya dan menyokongnya benar-benar. Bantuan ini secara kecil-kecilan telah diberikan sebelumnya kepada para hulubalang yang loyal di luar Lini. Menurut Deijkerhoff, di sini terdapat banyak kali kesempatan, sesudah bertahun-tahun dia sebagai gubernur pertama dengan pandangan-pandangan yang sesungguhnya atas masalah Aceh. Rencana yang disampaikannya kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk mengandung banyak hal. Dia ingin menetralisasikan pengaruh Pinang yang besar dengan membentuk pelabuhan bebas di Pulau Weh, pulau yang terletak di lepas ujung utara Aceh, tempat sebuah pulau kecil memasuki Samudera. Dia ingin menerapkan pengaturan pelayaran kapal secara tepat sebagai alat untuk memberikan hadiah kepada rakyat-rakyat pantai yang setia atau untuk menghukum karena tidak setia. Dia ingin memulihkan kesultanan di bawah kedaulatan Belanda. Dan dia ingin mengelilingin Lini dengan suatu lingkungan sekutu-sekutu feodal, termasuk Teuku Umar, dan membuat mereka mampu bertindak keras sendiri terhadap kaum ulama dengan tegar.

Rencana Deijkerhoff diterima oleh Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Salah satu tindakannya terakhir sebagai gubernur jenderal adalah mengizinkan Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata-senjata untuk bertempur di Mukim VI. Tetapi rencana ini dilaksanakan baru di bawah seorang gubernur jenderal yang menjadi musuh paling keras dari cara-cara kompromi begini, Jhr. C. H. A. van der Wijck. Dia tiba dalam bulan Oktober 1893 di Batavia, yang sudah dikenalnya. Dia sendiri berasal dari kalangan pangreh praja Hindia pada tahun 1890 dan 1891 pernah menjadi wakil ketua Dewan Hindia. Pada pengangkatannya menjadi gubernur jenderal, Menteri Van Dedem benar-benar minta agar dia memperhatikan rencana Deijkerhoff. Menurut Van der Wijck, sampai-sampai ratu wali diminta turun tangan agar dia mau berjanji bahwa dia akan memberi kesempatan pada Deijkerhoff untuk melaksanakan kebijaksanaannya.

Di tempat lain di Kepulauan Nusantara tangan Van der Wijck tidak terikat. Baru saja dia menjabat kedudukannya, ia pun menyuruh agar disiapkan suatu ekspedisi terhadap Lombok. Penduduk aslinya, bangsa Sasak, selama ratusan tahun ditindas oleh raja-raja Bali. Menurut keterangan-keterangan resmi, orang Sasaklah yang meminta bantuan Batavia. Sesungguhnya seruan minta pertolongan ini telah puluhan tahun disuarakan, tetapi baru Gubernur Jenderal Van der Wijck-lah yang membatalkan politik tidak campur tangan dan melakukan tindakan militer. Ekspedisi bulan Juli sampai 1894, dengan kekuatan 2.400 orang anggota dan 1.800 orang narapidana kerja paksa, mula-mula mengalami kegagalan demi kegagalan tetapi akhirnya berhasil mengalahkan wangsa raja-raja di Lombok. Di Keraton Cakranegara ditemukan 230 kilo emas dan 7.200 kilogram perak, selain dari itu seharga berjuta-juta perhiasan yang diangkut ke Negeri Belanda dan memperoleh kemasyhuran bagaikan dongeng di sana. Ada sesuatu yang aneh: seruan minta bantuan yang dilakukan orang Sasak sesudah pembebasan mereka tidak bungkam. Menyusul untuk masa lama lagi kerusuhan di Lombok, tidak di kalangan orang Sasak yang drri segi penjajahan, lepas dari mulut buaya masuk ke dalam mulut harimau.

Van der Wijck sedikit pun tidak meragukan pendapatnya bahwa terhadap Aceh pun ia lebih menyukai dilakukannya tindakan militer, tetapi Deijkerhoff harus diberikannya kebebasan untuk bertindak. Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda dalam Mukim XXV dan XXVI; dari sinilah daerahnya diserang. Hasilnya besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang dan hulubalang-hulubalang yang penting dari kedua sagi menggabung pada Umar. Pada tanggal 30 Desember bahkan dalam suatu upacara di Kutaraja dia diangkat menjadi panglima prang besar pemerintah. Untuk memberikan arti peristiwa penting ini juga bagi kehidupan pribadinya, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di Indonesia dia mengambil nama baru, yang diakui oleh pemerintah: Teuku Johan Pahlawan. Bersama dengan lima belas panglimanya sang panglima besar menyatakan sumpah setia kepada Belanda.

Pertunjukan yang gemilang memang. Gubernur memerintahkan penyelenggaraan upacara besar-besaran. Semua pejabat pemerintah dan perwira-perwira tinggi hadir, semua pemuka yang bersahabat dari dalam dan luar Lini. Di sinilah untuk mengkonsolidasikan sukses Umar dibuat beberapa benteng sementara dengan penghuni campuran Aceh dan Belanda. Demikian besarnya kepercayaan Deijkerhoff pada Teuku Johan (bersamaan dengan itu demikian besar kecurigaannya terhadap sikap para bawahannya yang tidak mau saja melupakan Nisero dan Hak Canton), sehingga dia pribadi akan melindunginya. Untuk segala persoalan Teuku Johan akan langsung berhubungan dengan Gubernur dan hanya menerima perintah-perintah pribadi dari dia. Ada suatu soal kecil lagi: pantai barat sementara tetap ditutup, tetapi Teuku Johan mendapat izin mengangkut ladanya lewat Olehleh.

Pada bulan-bulan akhir tahun 1893 panglima besar melanjutkan operasinya yang sangat berhasil. Pada bulan November dia memiliki tentara yang terdiri dari dua ribu orang bersenjata, senjata Belanda. Pada tanggal 30 Oktober bahkan dia menaklukkan Aneuk Galong, setumpu militer yang terpenting dari Panglima Polim (muda) di lembah. Deijkerhoff menetapkan penempatan 140 orang dengan lima orang perwira dan menyuruh mengibarkan bendera Belanda lagi di atas pos yang dikosongkan pada tahun 1884. Dalam waktu setengah tahun, berkat Johan Pahlawan, seluruh daerah Mukim XXV dan XXVI, bahkan sebagian dari Mukim XXII dibersihkan dari musuh. Ditetapkan sepuluh pos yang baru dan sederetan rumah petak kecil, tempat orang-orang Umar dimukimkan. Patroli dilakukan bersama-sama. Didorong oleh keberhasilan ini, Deijkerhoff memberi izin kepada Teuku Johan pada tanggal 1 Januari 1894 untuk membentuk legiun dengan 250 orang, yang seluruhnya dibiayai pemerintah, mempersenjatainya dan membekalinya. Tempat kedudukannya adalah Lam Pisang di Mukim VI, tempat kediaman Johan, letaknya strategis di lembah yang sempit. Melalui inilah terdapat jalan satu-satunya dari Olehleh ke Krueng Raba di pantai barat.

Pada bulan April selesailah operasi pembersihan besar-besaran. Tidak di semua tempat terdapat ketenangan, tetapi pada umumnya wajah lembah Aceh Besar dalam satu tahun telah berubah seluruhnya. Kaum ulama bingung. Bolehkah pertempuran melawan legiun Teuku Johan, yang terdiri dari orang Muslim seperti mereka juga, disebut prang sabil, perang suci? Sementara orang berpendapat tidak. Hal ini segera juga banyak mengurangi hasrat bertempur. Bila orang pada waktu gugur tidak memperoleh jaminan seperti syahid memasuki surga, maka tampaknya hal ini terlalu mirip dengan pertikaian-pertikaian tetangga yang dulu. Panglima perang besar sesungguhnya juga tangkas dalam memberikan uang suap dan membuat janji antara sesama mengenai pembagian kekuasaan yang baru. Pemerintah tidak perlu mengetahui semuanya, bukan? Kendatipun operasi-operasi luas liputannya, kerugian-kerugian legiun kecil sekali.

Kolonel Deijkerhoff menjadi Jenderal Deijkerhoff dan hidupnya senantiasa beruntung. Bahkan ketika pada tahun 1894 daya guna pasukannya banyak dikurangi sehubungan dengan ekspedisi Lombok yang mengorbankan serdadu sama-sama banyaknya seperti ekspedisi-ekspedisi Aceh dulu-dulu, di Aceh Besar keadaan tetap tenang. Kerugian-kerugiannya sendiri dapat diabaikan: pada tahun 1893 sebelas orang mati, tahun 1894 tujuh belas, tahun 1895 delapan orang. Biaya legiun sedikit lebih dari seratus ribu gulden tiap tahun, rumah-rumah petak orang Aceh tercantum menggunakan anggaran 120.000 gulden, kepala-kepala yang baru diangkat menerima gaji semuanya 66.000 gulden. Sebagian besar lembah itu telah diamankan dengan biaya kurang dari tiga juta gulden. Seluruh pengeluaran militer di Aceh berjumlah tujuh juta gulden. Dahulu dengan dua puluh juta gulden setiap tahun pun hasilnya tidak sejauh ini tercapai.

Siapa kini yang masih akan merugikan bahwa peperangan telah hampir berakhir?

Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 143-150.

No comments:

Post a Comment

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis