Monday, 30 May 2016

Iskandar Muda - Didikan Perang

Hatta maka kata shahibul hikayat adalah Perkasa Syah makin hari semakin bertambah dewasa, bijak, dan ramah.

Ia bertambah akrab dengan ulama-ulama lain dan juga orang-orang besar, bentara, dan hulubalang. Perangainya sangat baik, ibarat magnet yang mampu menarik besi, begitulah bisa dilukiskan perangainya karena ia mampu menarik simpati semua kalangan, baik kalangan dalam istana maupun kalangan rakyat biasa. Ketika waktu senggang usai mengaji, ia berjalan-jalan ke sudut kampung. Di mana pun ia berjumpa dengan orang alim dan orang yang lebih tua darinya, ia menyalami orang tersebut sambil mencium tangan mereka. Tak lupa pula ia berdiskusi dengan orang yang lebih alim darinya mengenai ilmu pengetahuan agar bertambahlah wawasannya.

Jika ia bertemu dengan orang-orang tua, ia juga bertanya-tanya tentang segala hal, misalnya pengalaman mereka dalam berperang melawan musuh, mengenai hukum adat istiadat yang ada dalam negeri, dan lain-lain. Begitu juga jika ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu falak dan ilmu firasat, ia tak segan-segan untuk berdiskusi dengan mereka. Dengan banyak berdiskusi dan bertelaah, maka ia yakin akan bertambahlah ilmu pengetahuannya. 

Seri Baginda Sultan kebetulan pada masa itu juga telah menerima kedatangan dua orang ulama dari Mekkah, yang termasyhur bernama Syekh Abdul Khair bin Hajar dan Syekh Muhammad Yamani, yang mereka itu ahli dalam bidang ilmu fikih, tasawuf, dan ilmu falak. Sementara itu datang juga ulama dari Gujarat yang bernama Syekh Muhammad Jailani bin Hasan Ar-Raniry. Ulama-ulama ini pun kelak menjadi guru bagi Perkasa Syah yang menambah daftar guru-gurunya.

Pada malam hari Perkasa Syah meninggalkan istana untuk mengikuti kajian-kajian ulama tersebut. Dalam perjalanan menuju tempat pengajian, jika dijumpai para pemuda yang sedang duduk-duduk berkumpul, maka diajak serta olehnya ke tempat pengajian. Dan jika ada di antara para pemuda tersebut ~ yang menurut firasatnya baik ~ memiliki kriteria sebagai pendampingnya di istana, maka akan direkrutlah mereka, namun jika mereka keberatan untuk menetap di istana, maka Perkasa Syah akan menganggapnya sebagai kawan dan disuruh datang sekali-sekali ke istana. 

Perkasa Syah kadang-kadang menghabiskan waktu luangnya di istana dengan bermain bersama kawan-kawannya. Salah satu permainan yang disukainya adalah perang-perangan. Semua pengiringnya di istana diajaknya untuk ikut bermain. Senjata yang mereka gunakan adalah bedil bambu (beudee trieng). Selain bermain perang-perangan, mereka juga bermain kuda-kudaan dari daun pinang dan kuda kayu. Hampir setiap pekan ia mengumpulkan anak-anak seusianya. Kemudian mereka berangkat ke tempat persawahan Raja Umong. Di sanalah mereka bermain perang-perangan. Kadangkala mereka membuat sebuah pasukan dengan nama pasukan diambil dari kampung masing-masing. Begitulah mereka saling berperang dengan mempertahankan kampungnya masing-masing dari kekalahan. Permainan ini pun lama-lama digemari oleh anak-anak sehingga asal ada waktu luang mereka senantiasa bermain perang-perangan.

Kanak-kanak yang berani dan pandai bermain perang dipuji oleh Perkasa Syah. Jika ada kawan pengiringnya kurang cakap bermain, Perkasa Syah tidak segan-segan mengajarkannya agar mereka dapat lebih terampil dan cakap. Mereka juga belajar cara melempar lembing dan bagaimana cara bermain pedang. Kemudian mereka melanjutkan latihan dengan menebas barisan lidi yang telah diikat dan batang pisang. Tempat mereka bermain lama-lama semakin dipenuhi oleh kanak-kanak lain. Dan ada di antara mereka yang tertarik untuk bermain.

Sepulang mereka ke kampungnya, lalu mereka membuat pedang dan lembing dari kayu, selanjutnya melatih kemampuan mereka seperti yang pernah diajarkan oleh Perkasa Syah. Untuk perisai, mereka membuatnya dari sabut kelapa kering. Tiada antara berapa lama, maka pekerjaan permainan pedang dan lembing pun pindah memindah dari satu kampung ke kampung lain sehingga permainan ini semakin populer di kalangan kanak-kanak. Demikianlah inisiatif Perkasa Syah yang bijak perkasa itu telah dapat menarik hati kanak-kanak muda belia untuk mempelajari cara berperang yang dapat menanam darah keberanian dalam kalbu putera Aceh semenjak mereka kecil sampai dewasa. Kebanyakan di antara mereka itu kelak menjadi pahlawan dan kaum balatentaranya. Istimewa pula dengan perangai yang baik dan kebijaksanaannya, telah dapat memikat hati dan kasih sayang anak-anak serta orang tua dari tingkat yang rendah hingga ke tingkat yang tinggi dari segala golongan. Perangai yang saleh dan merendahkan diri itulah yang mengangkat martabat dan nama Perkasa Syah menjadi seorang yang ternama dalam dunia ini, seperti ibarat bidal Melayu: mati harimau meninggalkan belangnya, mati gajah meninggalkan gadingnya dan mati Perkasa Syah meninggalkan namanya yang masyhur. 

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 28-31.

Sunday, 29 May 2016

Belanda Bejat dan Aceh Bejat


Gambar Hindia Belanda yang dikejutkan oleh kedatangan zaman baru yang menyerbu sekitar 1870 dari Negeri Belanda melalui Terusan Suez merupakan pertanda kenyataan. Bukan Hindia saja yang berada dalam suasana tempo doeloe. Negeri Belanda sendiri pun baru pada paruh akhir abad ke 19 bangkit dengan hidup baru, Bagaimana dengan pelayaran kapal melalui Terusan Suez, yang baru lama kemudian memberi keuntungan kepada Hindia Belanda? Sempat memakan waktu dari tahun 1865 sampai 1876, sesudah mengalami bermacam-macam skandal, barulah terusan Laut Utara selesai. Masa pembuatan De Nieuwe Waterweg (Terusan Baru) bahkan merana dari tahun 1866 sampai 1886. Bila baru tahun 1974 dibuka garis tetap pelayaran kapal uap Belanda ke Hindia, penyebab penundaan ini adalah Negeri Belanda, bukan Hindia. Dengan menjadikan Den Helder dan Hellevoetsluis sebagai pelabuhan pangkalan, bagaimanakah jadinya kemungkinan pelayaran kapal uap di Batavia? Pemindahan angkutan ke kapal kecil dan dari sini ke kapal-kapal Sungai Rijn begitu besar biayanya dan banyak memakan waktu hingga sama saja jadinya dengan berlayar mengitari Tanjung Harapan.

Bila sesudah dua puluh tahun mayoritas liberal di parlemen baru daoar melaksanakan salah satu pokok programnya yang utama yaitu dihapuskannya Tanam paksa, hal ini merupakan kelambanan di Negeri Belanda dan bukan karena kelambanan kolonial di Hindia.

Saya telah menulis tentang besarnya jumlah krisis kabinet dan jumlah menteri jajahan yang lebih besar. Kalangan liberal yang harus memulai perbaikan, makin lama makin terpecah. Kemunduran golongan konservatif yang terus menerus dapat diimbangi karena tambahnya unsur konservatif yang sebanding di kalangan liberal. 

Memang terdapat perhatian yang lebih besar untuk masalah-masalah Hindia, terutama sejak Majelis Perwakilan harus mengesahkan anggaran belanja Hindia sejak tahun 1867, tetapi ahli-ahli Hindia Belanda yang berkaliber besar, antara saat turunnya W. van Hoevell pada tahun 1862 dan naiknya Ir. H. H. van Kol pada tahun 1897, tidak terdapat dalam Majelis, kecuali seorang tokoh. Tokoh pengecualian ini ialah Fransen van de Putte, tetapi dia telah menghabiskan tenaganya sebagai menteri. Selama tiga puluh tahun tidak terdapat lagi prakarsa dari Parlemen. Masalah kolonial menjadi pembicaraan seru pada pertengahan abad ke 19 berkat pembahasan yang seru dalam Parlemen (Van Hoevell) dan di luarnya (Multatuli). Sesudah itu masalah ini terdesak dalam bayangan soal-soal hak pilih dan pendidikan. Dan soal Aceh.

Perang Aceh sangat memberatkan tanggungan Hindia. Karena menelan banyak korban manusia dan sarana, sesudah tahun 1873 setiap kemajuan tertahan lama. Titik berat urusan Hindia berpindah ke Het Plein (Lapangan), kementerian jajahan, yang berkat sarana perhubungan yang lebih baik dapat mengendalikan kebijaksanaan atas seberang lautan. Barulah pada akhir abad ini. Parlemen mulai memainkan peranan lagi, hampir bersamaan waktunya dengan naiknya gubernur-gubernur jenderal seperti C. H. J. van der Wijck dan penasihatnya yang cemerlang, Snouck Hurgronje, yang menghendaki kebebasan yang lebih besar dalam kebijaksanaan mereka.

Pecahnya Perang Aceh pada tahun 1873 merupakan hadiah politik samawi bagi golongan konservatif di Parlemen. Karena penjelasan kurang, perdebatan yang wajar baru dapat berlangsung pada bulan April 1874 ketika pemerintah bersedia menyerahkan secara terbatas semua, ya hampir semua, dokumen: korespondensi antara Batavia dan Den Haag, nota diplomatik, perintah harian, artikel dari koran-koran Inggris, teks perjanjian. Majelis memutuskan untuk membahas berkas-berkas ini dalam komisi umum. Perdebatan dilangsungkan dari tanggal 16 sampai 20 April. Pada tahun 1881 buku putih pemerintah diumumkan dan tidak lagi merupakan rahasia. 

Anggota konservatif Fabius-lah yang paling hebat mengecam petualangan liberal ini, yaitu perang. Dibandingkannya Aceh dengan perbuatan nekat Napoleon III di Meksiko, dan diingatkannya bagaimana akhirnya jadinya: Maximiliaan ditembak mati, Bazaine dijebloskan dalam penjara. Kaisar kemudian meninggal dunia dalam pembuangan ....

Kecaman itu mendapat sambutan baik, tetapi terlalu jauh dari kenyataan hingga kurang memuaskan. Lain halnya dengan pidato perdana anggota Majelis yang termuda, Abraham Kuyper, anggota anti revolusioner. Anggota yang berusia 37 tahun ini baru saja bebas tugas sebagai pendeta, Dalam politik, agama, dan jurnalistik (pemimpin redaksi majalah Standaard yang didirikannya sendiri) ia masih dalam usia yang bergelora semangatnya. Sejak gerakan April tahun 1853 kalangan Katolik memihak kaum liberal, kalangan anti revolusioner mendukung konservatif. Sikap menentang yang dikemukakan Kuyper dalam masalah Aceh jadinya sudah diduga, tetapi pidatonya mengandung sesuatu yang tidak dimiliki Fabius: ciri amarah yang sesungguhnya, mengutuk perang atas dasar susila.

"Orang memukul tong kosong," kata Kuyper. "Ada intrik, yang sekiranya bisa dikutip dari berkas-berkas ini, akan menjadi roman yang menarik hati." Menurut Kuyper, Read menderita penyakit khayalan, Loudon telah menjadikan kita korban sejarah, Arifin adalah bajingan tengik yang lecik, Fransen van de Putte menggeser tanggung jawabnya pada Loudon, ultimatum pada Aceh tidak adil. "Kalau di satu pihak orang tidak bisa merasa dirinya terikat pada syarat-syarat hukum internasional yang ketat, sedangkan Aceh adalah sebuah negara bumiputera, maka orang jangan memainkan siasat lain dengan menyatakan Aceh bertanggungjawab terhadap pelanggaran norma hukum yang berlaku bagi negara-negara Eropa." Tetapi mosinya bahwa tidak terbukti ultimatum 22 Maret adalah tidak dapat dielakkan, ditariknya kembali ketika Fransen van de Putte menjadikannya pertaruhan nasib kabinet.

Nada pidato Kuyper membuktikan bahwa terdapat kegelisahan di Negeri Belanda tentang kebenaran dilaksanakannya perang, yang tidak hanya di kalangan kaum Multatuli dan kalangan radikal lainnya. Pada tahun 1873 Pendeta J. H. Gunning di Den Haag menerbitkan buku dengan judul yang sarat makna, Acchin, een waarshuwing Dods aan ons (Aceh, suatu peringatan Tuhan kepada kita), sebuah khutbah tentang ekspedisi yang gagal itu. Ia mengutip di dalamnya bagaimana Tuhan menurut Josua VII menghukum anak-anak Israel dengan menimpakan kekalahan. Lebih daripada pencurian uang dan barang yang telah kita lakukan terhadap Hindia Timur, kata Gunning dalam khutbahnya. "Tidak kita berikan kepada mereka kehidupan yang ada dalam Yesus Kristus. Karena itu, di dalam dan di luar batas-batas jajahan kita tumbuh kehidupan yang bermusuhan dan berbalik melawan kita. Kita harus mengakui dan memberantas dosa-dosa terhadap tanah jajahan Hindia Timur. Sifat mementingkan diri dalam diri kita dan nenek moyang kita janganlah lagi kita pulasi dengan nama yang indah-indah, dan jangan kita lanjutkan. Keadilan untuk orang bawahan, dalam pemerintahan negara dan hubungan perdagangan pertama-tama ketidakadilan, pemulihan, ditegakkannya keadilan kembali, dengan langkah yang tetap, bersih, dan juga bermanfaat tujuannya. Kemudian kebebasan, pengabaran Injil yang tiada dihalang-halangi bagi mereka yang belum mengenalnya." 

Bila dalam khutbah pendeta ini masih terdengar pantulan perjuangan untuk kemerdekaan zending dan misi di Hindia Belanda, dalam koran Kuyper De Standaard bulan Juni 1873 terbit kronik Hindia yang lebih mempunyai titik politik, karangan-karangan ini ditulis oleh Mr. L. W. G. Keuchenius, kemudian pengacara di Batavia. Pada tahun 1866 terjadi krisis kabinet yang gawat akibat mosinya terhadap skandal berhentinya Mr. P. Meijer, menteri jajahan, sesudah dia mencalonkan diri untuk pengangkatan gubernur jenderal. Keuchenius dalam kronik-kroniknya mengutip Surat kepada Raja Multatuli tahun 1872 dan terang-terangan menganjurkan mengenai perang bahwa rakyat Belanda "tidak boleh membiarkan kekuasaannya di Hindia didasarkan atas ketidakadilan sehingga menjadi goyah."

Kini terbil pula brosur dengan nada itu dan dalam pers konservatif dilakukan kampanye yang hebat. Tetapi makin sengit orang menyerang peperangan, makin sengit pula ia dibela. Para penantangnya bukanlah satu-satunya golongan yang secara moral mempersoalkan hak bertindak. Para pendukung memiliki dua senjata propaganda yang ampuh: kegagahberanian Belanda dan kebejatan orang-orang Aceh.

Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengadakan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional. Kunjungan itu diabadikan, setidak-tidaknya tetap dalam kenangan, pada sebuah lito yang dibuat oleh J. W. Egenberger, yang memperlihatkan Raja bersama ajudan-ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si orang tua yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal. Penyair J. J. A. Gouverneur yang masih kita kenal hanya sebagai pencipta Prekibeen dalam buku kanak-kanak, yang ketika itu mengubah lirik bagi bencana-bencana nasional, antara lain menyanyikan baris-baris berikut pada kecapi hatinya:

Ada Tuhan yang mengilhami Anda,
Wahai Raja Willem, raja kmi
Suatu titik gemilang dalam hidup Anda,
Menyematkan satu bintang lagi di dada.

Bahwa Anda dalam rumah kecil, jauh dari benteng,
Mendatangi seorang ayah tua berhati tabah,
Menghiburi hatinya nan sedih menangisi,
Putra tewas di depan benteng Aceh.

Dan ini bukanlah satu-satunya bahasa puitis perang di Aceh. Untuk mengobarkan semangat dalam pengerahan tenaga tempur di Harderwijk terbit antara lain Militair Achinlied (Lagu Militer Aceh). Lagu yang memang dibutuhkan karena pengerahan hasilnya tidak seperti yang dikehendaki, walaupun uang persennya dinaikkan menjadi dua ratus gulden untuk ikatan hanya dua tahun, padahal biasanya empat atau enam tahun. Dari empat ribu orang fuselir yang direkrut, setengahnya berasal dari luar negeri, terutama dari Belgia, Jerman, dan Prancis. Dari segi kebangsaan angka-angka ini masih relatif baik. Bagi NIL (Tentara Hindia Belanda) sebagai legiun asing menurut saya tidak ada contoh yang lebih mencolok daripada tahun 1877. Pada tahun itu melalui Harderwijk dikirimkan 3.046 orang Eropa militer, yaitu hanya 884 orang Belanda banding 2.162 orang asing. Lagu Militer Aceh P. Haagsma lengkap dengan musik dapat diperoleh dengan harga 3 sen. Hasilnya untuk Palang Merah yang untuk pertama kali mengirimkan wakil ke Hindia. Sejak Haagsma yang menyayat hati tidak kurang dari 12 bait jumlahnya, antara lain sebagai berikut:

Ke Aceh, keraton! Sarang segala kejahatan,
Persekongkolan, pembajakan, dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat:
Dengan sang Tiga Warna Belabda "peradaban" tumbuh.

Tanda kutip pada kata perubahan seluruhnya menjadi tanggung jawab penyair yang menutupnya dengan:

Ke Aceh! Keraton! Itulah semboyan kita kini,
Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuhm atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.

Dalam sajak ini kepahlawanan dan kerja peradaban kuat mengikat. Seperti juga di satu pihak belum pernah "dasar susila" politik kolonial Belanda begitu sungguh-sungguh dan untuk Negeri Belanda begitu seru dipersoalkan pengalamannya dibandingkan dengan pada awal Perang Aceh, begitu sengit pula tiada taranya tuduhan serangan yang dilancarkan terhadap "kebejatan-kebejatan" orang Aceh. Sampai sekian jauh sesungguhnya para penyokong dan penentang politik kolonial Belanda sama sependapat dalam satu hal: orang Jawa adalah "bangsa yang terlembut di bumi", seperti dinyatakan oleh Sicco Roorda van Eysinga dalam Syair Kutukan-nya, dan bangsa Jawa menjadi teladan bagi semua bangsa di Nusantara yang tidak diketahui orang. Bagaimana tentang orang Aceh yang ternyata tidak tergolong di dalamnya?

Aceh bukan Jawa, tetapi juga bukan Siak. Aceh bisa bertahan dan cukup makmur tanpa Belanda turun tangan. Aceh memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional pada tahun 1873 paling tidak terdapat seorang pemimpin dengan kecerdasan pengetahuan dunia yang unggul, yaitu Perdana Menteri Habib Abdurrahman Zahir. 

Dalam tulisan ini ~ yang menggambarkan Aceh sebagai fokus setengah abad politik kolonial, nasional, dan internasional ~ sedikit yang akan dapat kita bicarakan tentang negeri dan rakyat Aceh sendiri. Tetapi jelaslah bahwa dalam seluruh lingkungan pengaruh yang untuk mudahnya disebut Hindia Belanda, tidak sebuah pun terdapat kerajaan pada abad kesembilan belas yang dapat dibandingkan dengan Aceh. Suatu perang lebih dari setengah abad lamanya, dengan seratus ribu orang mati dan setengah milyar gulden abad ke 19 yang tinggi nilainya telah membuktikan itu. Sekarang hal itu kita ketahui, tetapi pada tahun 1873 tidak; apalagi di Negeri Belanda, bahkan di Jawa pun orang tidak mempunyai suatu gambaran manusia bagaimana orang-orang Aceh itu.

Dalam bacaan perang masa itu orang Aceh cukup banyak diberi sifat-sifat yang buruk. Pengkhianatan dan kemunafikan sudah pastilah karena pengkhianatan Singapura. Lalu ditambahkan lagi: kelicikan, fanatisme, ketagihan madat, dan kemerosotan akhlak dalam arti seksual.

Perdagangan Aceh dengan luar negeri dalam hal ini Pinang, terdiri dari ekspor tiap tahun sekitar 140.000 pikul merica, kira-kira sembila ribu ton, jadi merupakan sebagian besar dari keseluruhan perdagangan dunia dalam hasil bumi ini. Di samping itu impor tiga ratus sampai empat ratus peti candu, di samping barang-barang tekstil, senjata, dan apa yang ketika itu disebut "barang-barang kelontong". Taksiran kasar Aceh mempunyai setengah juta orang penduduk. Untuk seluruh Jawa dengan dua puluh juta penduduk pada waktu itu, impor candu 1.400 peti. Ini angka resmi dari Kantor Pengendalian Candu Pemerintah. Impor yang sesungguhnya di Jawa kiranya lebih tinggi. Namun, dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan candu di Aceh tinggi sekali, setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan di Jawa. Bahwa penggunaannya di Aceh untuk tiap kepala dari penduduk adalah juga setengah dari penggunaan di Cina, tidak menjadi perhatian. Jawa yang menjadi tolok ukur, jadi Aceh "ketagihan candu". Kendatipun demikian, menurut sumber yang sama pada waktu itu, ketagihan candu benar-benar dalam peristiwa perorangan, tidak sering terjadi dan, bila hal ini terjadi, masyarakat Aceh sendiri menilainya sama buruknya dengan penilaian masyarakat Eropa. Di samping itu, semua kegiatan isap candu ini ternyata tidaklah sampai berakibat merusakkan tenaga rakyat seperti yang umumnya dinyatakan. Bahkan orang boleh bertanya mana yang lebih "celaka": mengisap candu yang dilakukan oleh orang Aceh atau minum alkohol yang biasanya dilakukan oleh fuselir-fuselir Eropa NIL?

Selain mengisap candu, dalam bacaan perang Belanda biasanya disebut-sebut juga dua keburukan tabiat khusus orang Aceh. Pertama mengudung mayat musuh; hal ini tidak terdapat di tempat lain di Nusantara. Di negeri-negeri yang penduduknya kebanyakan beragama Islam hal ini merupakan kebiasaan kuno, yang tidak saja dulu dan sekarang dilakukan terhadap orang "kafir", tetapi juga pada sesama mukmin. Memotong anggota kemaluan bertujuan merenggutkan musuh yang tewas dari salah satu kenikmatan dalam surga, sekiranyalah kebetulan masih juga dia dapat masuk ke sana. Dalam buku-buku tentang Aceh, kebiasaan itu digolongkan 'sifat kebinatangan'. Tidak pernah secara saksama diuraikan, tetapi memang termasuk di dalam bagian cerita rakyat lisan, yang tidak sedikit mengurangi minat orang masuk dinas militer di Harderwijk. Salah satu hiburan menarik dalam kehidupan di Timur adalah justru kehidupan seksual yang nikmat yang diharapkan orang - dan yang sesungguhnya adakalanya memang bisa didapat. Dalam tangsi dan perkemahan berlaku hubungan seksual liar dengan wanita-wanita Indonesia. Dan bahkan banyak pula anggota militer Eropa melakukan hubungan yang agak tetap dengan nyai piaraannya. Dan sekarang datang pula cerita seperti itu!

Dalam gambaran tentang orang Aceh dengan berbagai sifat keburukan itu, seperti dilukiskan oleh para penyokong karya peradaban Belanda, tidak boleh pula ketinggalan 'kebinatangan'. Pada umumnya dengan itu dimaksud tindakan homofil, terutama sekali suka berbuat mesum dengan anak-anak, yang ternyata adakalanya memang terjadi di kalangan pemuka feodal. Anak-anak berias cantik-cantik memainkan peranan besar dalam pesta-pesta tari Aceh.

Sejauh mana segala kebiasaan ini banyak tersebar, tentu saja tidak dapat diselidiki. Yang pasti adalah bahwa kalangan Muslim ortodoks sangat menentangnya. Banyak anjuran yang dilakukan orang Aceh untuk melakukan perang suci, jihad, terhadap kaum kafir, mengutuknya dan ketika pihak Belanda berhasil memperoleh beberapa kemenangan, para ulama dan pemuka menjelaskan bahwa kekalahan yang diderita oleh rakyat Aceh ini adalah akibat pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum Islam dan ajaran-ajaran Quran ini. Jadi, dalam hal ini pun: Perang Aceh merupakan siksaan Tuhan! Kekuatan perlawanan Aceh, bersama dengan dimaklumkannya jihad, dalam pandangan orang Belanda tentu saja merupakan sifat jahat pula, yaitu fanatisme. Seorang yang sopan, yang tidak mengisap candu, tidak berbuat mesum dengan anak-anak dan tidak mengudung musuhnya, tentunya tidak akan melawan begitu fanatik! Pengalaman dalam menghadapi tenaga yang mengilhami perjuangan Islam di Jawa biasanya lain sekali.

Masih pada tahun 1882 seorang perwira Belanda dalam sebuah kumpulan Schetsen uit de Atjeh-oorlog (Corat-coret dari Perang Aceh), yang sebelumnya dan sesudahnya banyak pula terbit, menulis tentang orang Aceh: "Kami ingin meyakinkan Anda bahwa karena sifat kebinatangan mereka dan tindakan-tindakan mereka yang tidak berperikemanusiaan, mereka tidak berhak lagi mengharapkan sikap menenggang dari kita."

Untuk masa waktu yang lama demikianlah gambaran umum yang sangat tersebar luas dalam karangan-karangan Belanda mengenai manusia Aceh. Baru sesudah terbit telaah yang mendalam pertama tentang negeri dan bangsa, karya Snouck Hurgronje yang cemerlang pada tahun 1893, yakni De Atjehers (Bangsa Aceh), mulailah terjadi perubahan. Dalam tahap akhir sementara pertempuran, yang disebut Perang Aceh keempat, musuh dianggap sebagai lawan yang terhormat. Tetapi ketika itu ia pun sudah hampir terkalahkan dan masih lama lagi baru kita sampai sejauh itu. []



Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 51-57.

Wednesday, 25 May 2016

Pertimbangan Bagi Belanda

Belanda menganggap Teuku Muhammad Arifin sebagai agen provokator

Tanpa Arifin, Read, dan Loudon pun Perang Aceh akan pecah juga. Paling-paling ketiga mereka ini agak mempercepatnya saja. Dari kenyataan berikut ini akan nyatalah bahwa menaklukkan sultan Aceh dengan damai, seperti yang pernah dibayangkan Fransen van de Putte pada tahun 1873, bukanlah tidak mungkin terjadi. Tetapi bagaimanapun tidak akan berbeda akibatnya bagi perkembangan yang tidak menguntungkan bagi usaha untuk perluasan kekuasaan Belanda. Keliru sekali gambaran yang dibayangkan orang di Batavia dan Den Haag tentang kedudukan sultan.

Ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa Arifin, Read, dan Loudon telah memainkan peranan yang sangat mencurigakan. Dengan mengarang-ngarang dan menambah-nambah informasi yang tidak benar telah menyesatkan pemerintah Belanda.

Loudon yakin bahwa perang 'mesti' pecah. Bertahun-tahun dia sibuk dengan persiapan dan hanya tinggal menantikan suatu penyebab. Sedikit pun dia tidak hendak meragukan bahan-bahan yang sampai ke tangannya. Bukti yang jelas telegram 1 Maret 1873 tentang keberangkatan armada Amerika dari Hongkong. Telegram ini bukan pula pemalsuan, seperti berita yang banyak datang dari Singapura. Telegramnya sama sekali tidak ada. Loudon tidak menyuruh memeriksa kabar-kabar mengenai adanya sebuah telegram. Tidak, dia justru mempercepat keberangkatan Nieuwenhuyzen ke Aceh dan menggelisahkan Den Haag dengan memberitahukan: ""Menurut kabar, Amerika telah mengirimkan armada dari Hongkong ke Aceh". Berita itu dogunakannya dalam perang urat sarafnya terhadap Fransen van de Putte yang ragu-ragu.

Bahwa pada Arifin ada kesengajaan untuk melakukan penyesatan cukup terbukti dari berkas-berkas resmi. Kemudian, pada perdebatan dalam majelis, sampai dikatakan: orang ini bisa dibeli. Read telah membelinya, dia adalah seorang spion bayaran yang bekerja untuk Read. 

Keadaannya tidaklah seluruhnya demikian. Arifin tidak bisa dibeli. Dia hanya bisa disewa. Dia dibayar Read untuk informasinya, dan jasanya pun tidak akan gratis ditawarkannya kepada Studer dan orang-orang Aceh.

Peranan Read dalam penyesaran ini lebih sulit dibuktikan. Namun, saya beranggapan bahwa dia secara sadar memainkan peranan agen provokator menurut gaya pengakuan angkuh dalam memoarny, Play and Politics, tentang situasi di Perak pada tahun 1873 itu juga. Arifin tidak lebih dari agennya, yang mulai membuat kesalahan besar ketika dia - karena terlalu rajin sebagai provokator - terus saja memproduksi dokumen-dokume Stider lebih banyak. Read sendiri tahu benar siasat Arifin, seperti ternyata dalam suratnya ke Batavia tentang ganjaran yang harus diterima Arifin. Bahwa sekebalinya dari Bangkok dia tidak sedikit pun berusaha menguji informasi Arifin, tetapi justru menambah-nambahnya, lalu meneruskannya kepada Loudon, itu saja sudah merupakan provokasi.

Lagi pula bagaimana sebenarnya Arifin bisa mendapatkan teks perjanjian Siam yang digunakannya sebagai model traktat 'Amerika' dengan Aceh? Mustahil bahwa orang kecil seperti dia bisa memiliki salinan perjanjian, walaupun dalam bentuk guntingan korang. Tentunya, Read si ahli Siam yang memberikannya. 

Satu-satunya pihak yang pada tahun 1873 sama sekali tidak bersalah, juga menurut pandangan tidak sedikit teman semasa, adalah Aceh. Dalam Perjanjian untuk Niaga, Perdamaian, dan Persahabatan tahun 1857 tidak terdapat sebuah artikel pun yang melarang Aceh mencari bantuan diplomatik dan materil pada siapa pun sesudah jaminan Inggris akan kemerdekaannya menjadi dihapus oleh Traktat Sumatera tahun 1871.

Pembahasan tentang adanya atau tidak hak moral Belanda untuk melakukan perang koloniak - yang tercetus di Negeri Belanda dan Hindia Belanda - adalah baru. Di sini pun kita lihat tanda zaman baru timbul dari tempo doeloe. Yaitu zaman baru imperialisme yang sama sengitnya dipertahankan dan diberantas yang memasuki Negeri Belanda bersama Perang Aceh yang kedua.

Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 49-51.

Iskandar Muda - Masa Muda

Setelah putera raja itu dikhitan, makin hari makin besarlah putera itu, ramah tamahnya bertambah-tambah. Baginda menyerahkan lagi puteranya kepada Teungku di Bitai turunan Arab dari Baitul Muqaddis untuk mengaji kitab (imu nahu) beserta budak-budak kawan-kawan pengiringnya. Sangatlah rajin putera raja itu menuntut ilmu, demikian juga budak-budak yang lain kawan-kawannya diamat-amati oleh putera raja itu sendiri supaya mereka itu semua bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Gurunya sangat berbesar hati akan kerajinan putera itu, hatinya sangat terang dan cerdik, tingkah lakunya pun tak ada yang dicela, begitu juga ketika berbicara dengan orang lain, semakin terlihatlah sikap bijak putera raja itu di antara kawan-kawannya yang lain. Berbagai persoalan ditanyakan oleh putera raja kepada gurunya. Satu persatu persoalan itu kemudian dijelaskan oleh Teungku di Bitai yang memang seorang ulama yang dalam pengetahuannya, apalagi dalam ilmu falak dan ilmu firasat. Kasih sayang guru kepada putera raja itu amat mesra. Oleh sebab guru itu seorang ahli dalam ilmu firasat, maka beliau telah dapat menduga segala tingkah perangai putera raja itu, seorang kanak yang bijak perkasa. Bila putera itu pulang dari belajar, maka guru itu selalu bertelaah dengan orang-orang tua, bahwa putera raja seorang yang bertuah besar, bintangnya terang benderang.

Di masa dewasa hingga di hari tuanya, telah memperoleh martabat yang tinggi karena bijak perkasanya, bahkan pada sifat merendahkan diri pintar mengambil hati orang tua dan orang-orang alim. Beberapa kali telah diperhatikan oleh gurunya itu, bila seseorang kawannya bersalah dalam tertib dan khidmat kepada gurunya, selalu saja kawannya itu dimarahi oleh putera raja. Orang yang lebih tua sangat dihormati oleh putera raja itu. Pada suatu hari tatkala putera itu pulang dari mengaji, dilihatnya seorang tua sedang mengangkat benih padi di sawah di dalam panas yang terik, maka segeralah ia meloncat ke dalam sawah untuk membantu pekerjaan orang tua itu, sekalipun orang tua itu memekik minta ampun dan melarangnya, tetapi tidak dihiraukan, melainkan putera itu memanggil kawan-kawannya menyuruh turun ke dalam sawah untuk  membantu pekerjaan orang tua yang berat itu. 

Setelah selesai membantu orang tua itu pulanglah putera raja itu ke istana. Sampai di istana tercenganglah orang-orang melihat putera raja serta kawan-kawannya berlumur lumpur seperti orang yang habis berkelahi. Dengan segera Rama Setia mendekati rombongan anak raja dengan bertanya ada apa gerangan sehingga terjadi demikian rupa. Putera itu menjawab sepulang dari mengaji, di jalan dilihatnya seorang telah tua dalam kepayahan mengangkat benih padi di sawah. Oleh karena sayang akan orang tua itu, serta mengingat isi kampung itu tiada menaruh sayang akan yang sudah berumu tua itu, yang dirasanya dalam kampung itu tak ada aturan tolong-menolong, maka kami bersama-sama telah memberi bantuan akan orang tua itu. Beberapa ikatan bibit yang hendak ditanami itu, habislah semua kami atur dan letakkan baris-berbaris dalam sawah yang lebar itu. Setelah Rama Setia mendengar jawabn dari putera raja itu, lalu tersenyum simpul dengan hati yang lega dan terus balik ke balairung mempersembahkan hal itu kepada Baginda Sultan yang lagi bersemayam beserta orang besar-besar dan Baginda pun tertawa terbahak-bahak.

Tatkala itu pula segala orang-orang besar pun insaflah akan budi pekerti putera raja yang penyayang itu, bukan saja tertib sopan yang dihargai, juga hati penyayangnya. Tidak beberapa lama antaranya sampai pula berita itu ke telinga gurunya Teungku di Bitai, beliau sangat bersenang hati memperoleh khabar itu. Oleh sebab itu kasih sayang guru itu kepada putera raja bertambah-tambah mesra dan makin bertambah yakin pula akan ramalnya, bahwa putera raja yang perkasa itu kelak menjadi seorang yang ternama dalam martabatnya di kemudian hari. Karena kasih sayang dan kesukaan guru itu kepada putera raja, maka terbukalah pintu ilmunya hendak mencurahkan berbagai-bagai ilmu pengetahuannya ke dalam kalbu muridnya dan di antara ilmu-ilmu yang lain hendak diajarkan juga ilmu falakiah dan ilmu firasat supaya dalam hati sanubari putera raja itu terkumpul berbagai-bagai ragam ilmu pengetahuan untuk mempertinggikan martabatnya kelak. 

Segala cita-cita guru itu lalu diberikan kepada putera raja itu di segala waktu bila datang mengaji dan oleh putera raja itu sangat taat dan khidmat akan gurunya sehingga kasih sayang putera itu kepada gurunya pun dari hari ke hari semakin bertambah dengan tiada pula segan menyegan bertanya segala yang kurang jelas dari kejadian dan ajaran gurunya itu. Karena tingkah laku dan bijak cerdik putera raja itu amat nyata pada Teungku itu, maka jatuhlah ilham dalam hati sanubari Teungku itu untuk memberi satu nama kebesaran kepada putera raja itu. Demikianlah pada suatu pagi sedang putera raja duduk mengaji di dayah maka datanglah seorang mengangkat satu seuhap hidangan ketan lalu diletakkan di tengah-tengah murid yang sedang mengaji.

Setelah datang datu seuhap hidangan itu, maka pelajar mengaji pun berhentilah, disuruh buka hidangan itu dan dibagi-bagi isi ayapan itu untuk kenduri kepada murid-murid yang hadir di situ. Sesudah selesai santapan itu, lalu guru besar itu merasikan namanya putera raja itu dengan nama yang baru, dengan menyeru kepada murid-muridnya: mulai hari ini namanya menjadi Tun Pangkat Perkasa Syah.

Maka amat bersuka citalah hati segala kawan putera raja itu setelah mendengar nama baru yang disebut oleh gurunya. Setelah itu turunlah mereka itu semua pulang ke istana. Sampai ke istana dikahabarkanlah oleh mereka itu akan nama Tun Pangkat yang baru, yang dirasikan oleh Teungku di Bitai kepada putera raja.

Baginda pun amat berbesar hati akan nama begawan yang diberikan oleh Teungku di Bitai kepada putera Baginda. Baginda serta Ibu Suri semakin bertambah senang dan suka akan putera Baginda yang cerdik perkasa itu. Setelah mendapat nama yang begawan dari gurunya, semenjak itu sebutan perkasa populer di dalam istana kampung dan negeri. 


H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 25-27.

Tuesday, 24 May 2016

Iskandar Muda - Khitan

Ketika sudah tiba waktunya untuk sunat rasul (khitan), maka Baginda serta Maharani bermufakatlah dengan orang-orang besar dalam negeri, mengadakan peralatan (meukeureuja) menurut sepanjang reusam dan adat negeri. Setelah memiliki kesepakatan, maka ditetapkanlah keureuja  itu selama 14 hari 14 malam lamanya untuk mengadakan kenduri dan keramaian dalam istana. Tiga sagi Aceh dan jajahan taklukannya dimaklumkan dan diundang oleh segala hulubalang dan ulama untuk menghadiri kenduri dan perjamuan itu.

Enam hari bulan Muharram dimulailah proses kegiatan itu, istana dihiasi dengaimana adat yang biasa dalam lembaga negeri.

Bunyi meriam bertalu-tali dipasang untuk kehormatan dan tanda-tanda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat bersiap-siap untuk datang ke istana. Berduyun-duyun hamba Allah datang menuju ke halam istana raja. Berbagai permainan dan hiburan rakyat dimainkan oleh orang-orang siang dan malam. Berpuluh ekor kerbau, lembu, dan kambing disembelih untuk santapan tetamu. Rama Setia mondar mandir kian kemari untuk mengatur dan menjaga segala urusan peralatan perjamuan itu dalam istana.

Segala perwira-perwira, biti-biti dan dayang-dayang dalam istana, agi sibuk mengerjakan persediaan hidanga. Perang Batu pun terjadilah lagi dengan amat dahsyatnya. Rakyat mukim Kunyit, mukim Lombok dan mukim rempah bertambah ramai datang menyerang kembali Kuta Batu, sehingga bala tentara 3 mukim itu lebih banyak korban dari pada perang di masa lahir putera itu. Pedang beuek aweiel anggar menganggar dan tangkis menangkis dalam medan perang. Teluk Belang Selendang dan baju Panglima Perang Gumbak yang binyak dan betah itu penuh dengan titikan darah bala tentara Kunyit dan Rempah yang telah jatuh korban itu. Tumpah ruah hamba Allah datang menghadiri peralatan itu. Kerbau dan lembu tidak terbilang banyaknya dipersembahkan oleh segala tetamu agung untuk memenuhi adat istiadat negara. Putera raja tiap-tiap hari bersemanyam di atas pelaminan keemasan, di bawah tirai diwangga dan tidak putus-putusnya orang datang menyembah dengan mengantarkan gubahan masing-masing sealakadarnya menurut taraf dan derajat.

Bentayan-bentayan penuh dengan tamu-tamu agung yang datang dari jauh. Arakan diadakan sepanjang kota dan pekan, putera raja didudukkan di atas gajah pelaminan dengan diiringkan oleh 40 orang kanak-kanak teman sejawat putera itu, yang hendak disunatkan bersama-sama. Sepanjang jalan yang dilalui perarakan itu, dihiasi atau ditanami dengan tebu yang berdaun sebagai gaba-gaba kehormatan menurut sepanjang reusam atau adat negeri. Barisan gedumbak, naferi dan hamba sipa-i berjalan di muka gajah pelaminan itu dengan diikuti oleh beratus Bentara Hulubalang dan hamba rakyat pengiringnya. Berpuluh ribu isi negeri di kiri kanan jalan ray berdiri berdesak-desak menonton perarakan itu. Setelah habis melalui jalan raya dan pekan, baliklah pulang ke dalam istana, sampai di muka pintu gerbang, disambut pula dengan letusan meriam kehormatan dan sesampai masuk ke dalam kuta istana, turunlah putera raja itu dari atas gajah pelaminan dan naik terus ke atas istana beristirahat di atas gajah pelaminan dan naik terus ke atas istana beristirahat di atas keta pancapersada keemasan dan barulah segala pengikut perarakan itu pulang masing-masing ke tempatnya. Demikianlah peralatan dan keramaian itu dilaksanakan orang untuk menghormati putera raja yang berbahagia itu dan berakhirlah keramaian itu 14 hari dan 14 malam dengan selamat dan sentosa semuanya.

Sesudah habis acara itu, di hari kelima belas, Baginda memanggil kembali alim umala, menyuruh khatamkan kajian putera Baginda serta segala teman-temannya. Selesai kenduri itu, keesokan harinya pula dipanggilnya 4 orang tukang sunat dan Baginda suruh sunatkan putera Baginda serta keempat puluh orang kanak-kanak teman putera Baginda dan titah Baginda itu dilaksanakan oleh tukang sunat itu. Tiga hari lamanya kanak-kanak itu tiada turun ke tanah dan di hari berikutnya barulah mereka itu turun ke bawah, berjalan linggang pinggang, kakinya beralas dengan kasut dari pada upis pinang dan pinggangnya diikatkan gelunang onar (rotan) seupaya tidak mengenai lukanya. Demikianlah pekerjaan sunat rasul putera Baginda sudah selesai dan dalam beberapa lamanya, sembuhlah luka putera raja dan segala kawan-kawannya yang lain semuanya.

Lanjut baca bagian 6 Masa Muda

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 21-24.

Monday, 23 May 2016

Iskandar Muda - Masa Kecil

Dari hari ke hari, putera Raja makin bertambah besar, sehat dan jernih air mukanya. Kasih sayang Baginda suami isteri tidak terhingga. Tingkah pekerti putera itu pun merayukan hati segala isi istana. Tidak putus-putus didukung-dukung orang: pawera dan biti-biti, semakin pandai putera itu berdiri dan berjalan, makin bertambah-tambah kasih sayang Baginda dan ibu suri serta segala isi istana. 

Tiap-tiap hari pulang didukung-dukung di atas pundak Bentara-bentara yang menjelang ke istana. Salam menyalam dengan segala tetamu, diajarkan oleh ibundanya, istimewanya pula segala tertib majelis sopan santun, semuanya diajar dan dibiasakan semenjak kecilnya. Anak-anak orang besar atau anak-anak bentara, hulubalang yang kira-kira sebaya dengan putera itu, tiap-tiap hari ganti berganti disuruh datang atau jemput ke istana Baginda untuk menjadi teman puteranya bermain-main. Ramah tamah nampaklah diperhatikan orang akan putera Raja itu. Penganan yang diantarkan oleh biti-biti dan inang pengasuh, di bahagikan oleh putera raja itu dengan sama rata dan sama besar kepada segala teman-temannya bermain. Satu sama lain kanak-kanak padu memadu kasih sayang yang amat mesra. Di waktu sore tatkala anak-anak itu akan dibawa pulang ke rumahnya masing-masing oleh orang tua atau pengasuhnya, menangislah mereka itu, seakan-akan setapak pun jangan bercerai dengan raja kecil itu atau dengan sesama kawan-kawannya yang lain, sebab itu kebanyakan gant-gantilah kawan-kawan itu ditidurkan dalam istana.

Menjelang umur 5 tahun, putera itu main bertambah-tambah cerdik akal budinya dan kasih sayang sesamanya makin bertambah-tambah padat dan mesra. Dalam dewasa itu pun Baginda telah mengadakan seorang guru untuk mengajar mengaji putera raja dan sekalian kawan-kawannya yang lain yang 10 orang banyaknya. Di antara rombongan kanak-kanak itu, nyata benar bijak dan cerdik putera raja itu. Acap kali Baginda ke balairung, dibawalah puteranya, didudukkan di sisi Baginda, sebaris dengan orang-orang besar, selaku mengajar putera itu melihat sopan santin yang bertertib dalam tutur kata di dalam majelis rapat mahkamah itu. Sedemikian pekerti dan muslihat Baginda dalam hal itu, selain dari mendidik puteranya, juga untuk menarik atau mengikat kasih sayang orang-orang besar akan putera Baginda. Dari pihak para orang-orang besar pun amat suka dan menyenangkan baginya akan tingkah laku kelakuan putera itu, sehingga mencurahlah kasih sayang mereka itu akan putera ang berbahagia itu. Bukan saja balairung itu menjadi rumah perguruan sopan santun putera itu, tetapi di mana tempat perjamuan di rumah orang-orang besar, yang mengundang Seri Baginda, dikirimlah putera itu akan ganti Baginda berhadir sendiri. Ini pun gunanya supaya putera itu mempelajari segala tertib dan adat lembaga isi negeri dan kenal akan orang-orang besar, yang mana senantiasa menjadi penasehat putera itu.

Di waktu ada undangan, ialah gurunya serta orang-orang besar Nanta Setia Raja atau Paduka Sinara Maharaja. Di dalam tiap-tiap perjamuan, diperhatikan benar oleh putera itu segala tutur kata yang pelik-pelik yang diucapkan orang tua-tua kepada orang-orang besar dan putera itu sendiri. Sesuatu reusam atau kanun yang diperbuat orang dalam perjamuan itu serta kata-kata yang pelik-pelik yang belum dilihat atau diketahui, selalu mendatangkan soalan putera itu kepada gurunya atau kepada orang besar yang menjadi pengapit-pengapitnya. Demikian juga kalau ada didengar kata-kata peribahasa atau bidal-bidal yang bertakwi, diselidiki dengan seterang-terangnya.

Di dalam pergaulan di taman kanak-kanak, putera itu selalu bermain-main dengan sesamanya segala yang diperhatikan di atas balairung dan di tempat-tempat perjamuan, dicobakan dalam permainannya. Setelah selesai mengaji, baik siang ataupun malam, kalau bulan terang maka diadakanlah satu permainan "meuraja-raja" untuk pelalai hati mereka itu. Cara pekerti yang dilaksanakan itu ialah di antara kanak-kanak itu dipilih seorang yang diangkat menjadi raja, dipilih beberapa orang menjadi perdana menteri atau orang-orang besar dan beberapa hulubalang yang gagah perkasa. Di kiri kanan raja itu duduklah perdana menteri, mangkubumi, laksamana dan sebagainya, seperti yang lbiasa dilihat di balairung. Sementara itu datanglah beberapa hulubalang atau orang-orang besar yang lain menyembah raja dengan tutur kata yang halus dengan sesungguh-sungguhnya serta diperhatikan betul oleh putera raja itu, kalau-kalau ada yang salah mereka itu kerjakan. Siapa di antara kanak-kanak itu ada yang salah atau silap mengerjakan dan menyusun tutur katanya ataupun tak lancar menuturkan segala bidal-bidal yang telah disuruh lafalkan, maka itu diganti dengan yang lain serta ditertawakan atau diolok-olokkan beramai-ramai dengan tampik sorak yang amat meriah supaya di waktu percobaan yang akan datang dapatlah ia menutur atar mengatur kembali. Dan siapa di antara kanak-kanak yang pandai bertutur kata serta sikap baik dalam pekerjaan itu, dipuja pujikan oleh putera raja. Lain daripada itu diasuhnya anak-anak itu.

Demikianlah peradaban yang dipelajari oleh kanak-kanak kawan jawat putera raja yang cerdik dan bijak itu, dalam taman pergaulan sehari-hari.

Lanjut baca bagian 5 Khitan

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 20-21.

Iskandar Muda - Masa Turun Tanah

Hari Senin 12 hari bulan Syawal, berduyun-duyun hamba Allah kampung halaman, rumah ladangnya dengan memikul berbagai-bagai ragam hasil jerih payahnya, tebu yang berdaun, kelapa yang telah disusun, sebagai buah tangan kehormatan menuju Kota Alam. Sejak pagi hari telah bersedialah Rama Setia menghiasi pekarangan istana dan balai keemasan. Alam pedang (bendera kerajaan) telah dikibarkan angin di ujung tiangnya. Tidak berapa lama mulailah satu per satu orang besar-besar datang masuk ke istana, dari sesaat makin bertambah ramai datangnya. Berbaris-baris batang pisang dan tebu kehormatan (tebu berdaun) telah terpancang sepanjang jala raya di muka pintu gerbang, sekeliling balai keemasan dan pagar istana. Rama Setia mondar-mandir kian kemari melaksanakan segala perbekalan dan penyiapan untuk menyempurnakan pekerjaan kehormatan itu. Kira-kira setelah dahar pagi, segala orang besar-besar dan tamu agung laki perempuan telah cukup hadir. Barisan sipa-i telah berdiri tegak lurus dengan senapang di tangannya letak terdiri parade. Rama Setia telah berdiri tegap di pangkal barisan, cuma menanti titah apabila letusan kehormatan itu dimulai.

Di depan tangga istana telah berdiri berbaris-baris orang besar dan dalam pekarangan puri penuh hamba rakyat dina mulia. Di dalam istana pun sibuk segala perwira dan biti-biti bantu membantu ke sana sini menolong putri-putri dan rangkaya-rangkaya akan menyiapkan ini dan itu untuk menghiasi pancapersada. Setelah siap dalam mahligai, lalu memberi tahu kepada Paduka Sinara bahwa segala alatan dan ayapan, di dalam, semua siap sedia. Kadhi Malikul Adil dan Seri Maharaja Lela Laksamana dengan dua hulubalang pengiringnya naik ke atas mahligai untuk menjemput putra mahkota itu, lalu menghampiri pancapersada, tempat tidur putra bahagia itu. Beberapa saat kemudian turunlah rombongan agung terdiri itu dari atas astana. Baru saja menginjak anak tangga satu satu, letusan kehormatan pun berbunyi bertalu-talu, 7x7 Kadhi Malikul Adil berjalan di muka yang diikuti oleh Seri Maharaja Lela Laksamana. 

Sesampai laksamana menginjak tanah itu, menghunuskan pedangnya lenggang ke kiri, lenggang ke kanan dengan sikap yang amat perkasa dan garang, lalu menjinjing tiga batang pisang yang tertanam di situ. Barisan parade yang tegak berdiri di situ pun lalu melepaskan tembakan bedilnya ke atas udara sebagai letusan kehormatan pula akan menjadi isyarat yang sudah menjadi reusam pada kepercayaan orang supaya bila budak itu besar tiada takut akan guruh bunyi senapang di dalam peperangan. Riuh gempitalah bunyi bedil dan meriam kehormatan tatkala itu. Setelah habis rebah batang-batang pisang itu, lalu putera yang dalam dukungan Laksamana, dibuka dan diletakkan kepalanya di bawah langit-langit kain kuning telur (ija kuneng bungong piek). Sementara itu orang besar Nek Nanta Setia Raja mengambil sebuah kelapa, ditimbang-timbang di atas langit-langit itu yang bertentangan dengan kepala putera di Raja, setelah cukup pula syarat dan rukun, kelapa itu dibelah dua, airnya dicucur di atas kain kuning tadi sehingga menyentuh pula kepala putera di Raja yang didirikan di atas tanah. Kelapa yang dibelah dua itu sebelah dibuang ke sebelah kanan kain kuning tempat berdiri kaum walinya dan sebelah lagi dibuang ke sebelah kanan kain kuning tempat berdiri kaum kerabatnya.

Syarat-syarat yang dikerjakan itu ialah artinya melambung-lambung dan membelah kelapa itu supaya budak itu kalau besar tiada takut akan petir halilintar dan tak takut pula akan segala gertak orang atau musuh dalam peperangan atau lain-lain tempat. Belahan kelapa itu dibuang ke kiri dan ke kanan tempat waris kaumnya berdiri, pengertiannya supaya kedua belah pihak wali ahli waris itu sama sayang menyayangi atau bela membela dalam segala hal. Setelah perbuatan itu selesai, putera itu lalu disambut oleh Raja, dicium pada dahinya dengan menyebutkan kata-kata yang manis dan indah. Demikianlah berturut-turut dikerjakan oleh orang besar yang lain dan tetamu agung sehingga terus dibawa naik ke atas balairung. Sesudah selesai upacara di situ, barulah diantarkan putera kembali ke istana. Semenjak mulau hari itulah putera itu dan seumumnya kanak-kanak boleh diturunkan ke tanah (keluar dari rumahnya) dan barulah boleh dibawa ke rumah-rumah keluarga atau ke rumah orang lain sahabat kenalannya.

Sekianlah upacara peralatan menurunkan putera di Raja ke tanah, yang dirayakan oleh segenap pembesar-pembesar negeri dan rakyatnya. Maka segala reusam-reusam itu dituruti oranglah sehingga sekarang menjadi adat lembaga (tradisi) di seluruh negeri Aceh.

Lanjut baca bagian 4 Masa Kecil

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 18-19.

Sunday, 22 May 2016

Iskandar Muda - Di Masa Bayi

Do doda idang
rangkang di blang tameh bangka
beurijang rayeuk banta seudang
beu ek taprang naggroe dumna

Allah hai do, doda idi
anoe pasi riyeuk timpa
ngon lee rayeuk banta cutdi
ulee ili prang tapuga

Do, doda idi
bijeh sawi dalam kaca
beuna umu banta cutli
gantoe doli mat neraca

Begitulah suara buaian inang pengasuh, pagi petang atau siang dan malam membuaikan putera diraja selagi bayi. Segala kata-kata yang dikeluarkan oleh inang pengasuh itu menanamkan ke dalam semangat bayi raja itu supaya penuh dalam kalbu sanubari bayi itu segala perasaan keprajuritan dan keperwiraan yang dijarumkan ke dalam darah bayi yang masih kecil itu. Pengertian dari sajak bait itu adalah menyeru supaya apabila besar bayi itu kelak, dapatlah menyerang segala sudut negeri serta mengendali dan memaklumkan peperangan kian kemari segenap negara, istimewa pula meminta panjang umur bayi itu sehingga dapat menggantikan ayahandanya memegang neraca negeri. Dalam bahasa Aceh, khaiyal itu cukuplah gembira dan bersemarak akan isi baitan itu, siapa yang mendengarnya menaruh asyik berkobar bulu romannya.

Semenjak dalam ayunan, selagi dalam asuhan inang pengasuh, tak lain yang didengarkan oleh bayi mahkota itu daripada tutur kata yang bersemangat peperangan, serang menyerang negeri, untuk menanam semangat dan perayu-perayu hati ibunda bayi mahkota itu. Tumpah ruah wanita-wanita dalam negeri, dina mulia, datang menjelang bayi yang berbahagia itu. Bilik istana sudah penuh dengan bingkisan sebagai buah tangan dari segala isteri Bentara, Hulubalang, orang besar, saujana-saujana, dan biaperi-biaperi dalam negeri untuk memenuhkan adat dan reusam lembaga negara. Ada yang membawa sutera, mastuli, dan tali ayunan yang terbuat dari suasa dan emas menurut kadar masing-masing. Mereka ke sana bukan hanya memberikan bingkisan atau hadiah kepada bayi itu, melainkan juga mereka ikut merayukan hati ibunda sang bayi mahkota itu dengan saling bergantian menolak ayunan atau buaian keemasan sebagai penghibur laranya pula, sambil berseru:

Jak lon timang putik rambot
beungoh seupot lon seumanoe
beurijang rayeuk bintang kutub 
ek ta leugot dumna nanggroe

Jak lon timang bungong pade
puteh mupre-pre dalam uroe
beupanyang umu beujroh pi-e
ek tueng ate asoe nanggroe

Jak lon timang putik tuphah
meueh meutah-tah asoe puetoe
beurijang rayeuk banta meutuah
beu ek ta kraih dumna nanggroe

Jak lon timang putik manyang
banta seudang rupa samlakoe
ngon lee rayeuk boh ate nang
beujisayang le kaum droe

Apakah artinya sajak baitan yang dituturkan oleh kaum wanita yang berkunjung itu, tak lain pula daripada kata-kata kiasan dan tamsil yang beribarat. Dalam bait pertama berseru dan berharap supaya kalau bayi itu besar, daoat menakulkkan segala negeri dalam dunia. Dalam bait kedua, di hari besarnya dapat menarik hati segala orang-orang yang memerintah negeri. Dalam bait ketiga dapat pula memerintah kepala-kepala dan isi negerinya yang takluk kepadanya. Dan dalam bait keempat apabila bayi itu besar, disayangi oleh kaum keluarganya.

Bait yang diserukan di atas tadi sangat halus seni iramanya, kehalusan itu bukan saja masuk ke dalam hati sanubari ibundanya, juga masuk ke dalam darah bayi itu sendiri.

Segala benih yang disebar, kelak akan tumbuh asal saja tanah dan penjaganya serta asuhannya baik. Tidak nanti orang menjadi heran, semenjak ia dewasa, sampai kepada masanya ia berumur tua, maka bayi ini memperoleh kenamaan, karena gagah perkasa dan resik bijak serta betah tamahnya, istimewa pula adil penyayang akan hamba rakyatnya. Bahkan pula sampai pada dewasa ini atau boleh jadi juga sampai ke akhir zaman nama kemegahannya itu, tidak terlapit daripada puja-puji isi dunia dan tersimpan dalam segala khazanah di bawah cakrawala ini.

Siapakah gerangan bayi yang mendapat kemegahan itu? Tidak lain dari pada Tun Pangkat Darma Wangsa ibnu Al Sultan Alauddin Mansursyah, percampuran darah Malaka dan Aceh.

Lanjut baca bagian 3 Masa Turun Tanah


H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, halaman 16-17

Iskandar Muda - Kelahiran

Peredaran matahari sudah sampai ke puncak, segala manusia dan hewan, masing-masing hendak beristirahat. Burung yang terbang di lapangan cakrawala sudah mencari pohon-pohon kayu yang rindang hendak bernaung karena ngangahnya. Kijang, rusa, badak, gajah, harimau dan sebagainya binatang-binatang besar dan buas hendak mengasau dan sedang mengempaskan dirinya di tempat yang rindang. Demikian juga segala binatang-binatang yang jinak seperti kerbau, sapi, kambing, dan sebagainya sedang berbaring pula di bawah pohon-pohon atau tempat yang teduh di bawah cakrawala ini. Segala manusia yang lagi menjalankan pekerjaannya, baik di ladang, baik di sawah, baru saja sampai ke halaman rumahnya. Ada yang sedang berbaring, ada yang sedang mandi-mandi dan ada yang sedang duduk di muka hidangan, yang sudah disajikan oleh sang isteri yang semenjak pagi telah menyingsingkan lengan bajunya untuk persediaan bakal persiapan suaminya, tatkala itu masing-masing sedang sibuk atau sedang mengasau ataupun sedang berdiri di pintu rumah halamannya menantikan pulang suaminya.

Orang yang tinggal berumah di ladang atau dusun yang berjauhan dengan Kuta Alam yang sedang beristirahat itu, terkejut karena mendengar letusan itu. Maisng-masing mereka itu lari mengambil alat senjata dan mengikat pinggangnya, berkemas-kemasan dengan tetap hendak turun keluar, karena menyangka kalau-kalau kapal musuh telah bertimbun di Kuala hendak menyerang negeri. Kebanyakan isteri berteriak dengan menyebut: makan dahulu baru turun, sebab sebagaimana adat, kebiasaan dari kaum isteri, pantang suaminya berjalan menuju medan peperangan sebelum masuk suji (nasi) dalam perutnya. Kesesalan dan keaiban yang sangat besar terasa oleh kaum isteri bila suaminya meninggal dalam peperangan dengan perut kosong. Bukan suaminya yang ditangisinya tetapi nasi atau sarapan yang tinggal terhantar, yang sejak pagi telah disediakan.

Bagi orang-orang yang tinggal berdekatan dengan kuta, suami dan isteri, baik pun pihak para menteri, bentara, hulubalang atau para orang besar serta kaum sipa-i dan hamba raja, tatkala mendengar letusan itu, mendatangkan kesukaan dan ria, seakan-akan bahagia itu telah masuk ke dalam rumah halamannya. Yang sedang berbaring tegak berdiri lalu berhias-hiasan, yang sedang makan merasa telah puas kenyang, lalu berdiri berkemas-kemas memakai cindai pelangi, ikai, keruncung, baju tengkuluk dan rencong kelewang hendak menuju istana yang baru memperoleh bahagia itu, karena mereka itu telah memaklumi, bahwa seorang putera diraja yang sudah 9 bulan ditunggu-tunggu dalam kandungan ibundanya, pada saat itu, di masa tengah hari benar (teungoh cot uroe timang) telah lahir ke dunia. Hidang terbuka, piring terkapar, dan pintu ternganga, para isteri dan suami meninggalkan rumah halaman, berlari-lari menuju kuta istana. Dalam beberapa saat halaman kuta istana sudah penuh sesak dengan segala mereka itu yang datang dari segala ponjokan. Yang datang dengan berlari-lari, terngangah-ngangah yang berjalan dengan tenang mukanya berseri-seri serta senyuman yang manis dipandang orang. Hamba sipa-i dan rakyat yang miskin, sedang bergalut merebut-rebut kain, hibahan raja persalinkan fakir miskin sebagaimana yang dinazarkan Baginda. Alim ulama dan para orang-orang besar sedang tertawa terbahak-bahak di atas balairung, melihat mereka itu yang sedang rebut-merebut kain putih itu. Sementara itu pula datang Syahbandar dan Haria Peukan membawa berkodi-kodi kain sutera dan pelangi untuk persalinan para orang-orang besar dan biti-biti dalam astana.

Rama Setia, Bentara Dalam, sedang sibuk menghiasi perkarangan istana, lari ke sana, lari kemari pergi memeriksa orang-orang yang sedang bekerja memasang tanglong sekeliling halaman istana. Berpuluh kerbau, lembu dan kambing disembelihkan untuk perjamuan fakir miskin, alim ulama, dan para orang-orang besar, Bentara, Hulubalang negeri.

Sekalian kaum wanita dalam istana sedang sibuk pula bekerja untuk segala ayapan, bunyi dalong dan puan cerana, bertalu-talu. Perang Kuta Batu pun terjadilah tatkala itu, dengan amat dahsyatnya. Berketi-keti rayat Kunyit dan rayat Lombok yang menjadi kurban karena datang menyerang Kuta Batu. Mayor Cong Api yang sedang gembira dan perkasa dalam kuto Tiga, memperlihatkan bukti dan saktinya berterbangan ke udara yang menerbitkan tangisan orang karena yakin dan dahsyat. Rangkaya-rangkaya dan biti-biti sedang asyik berkecimpung di dalam tuwi Teluk Belanga, masing-masing menunjukkan kebaktiannya kepada Suri dan Maharajanya.

Pada hari yang ketujuh diadakanlah adatan yang disebutkan orang dengan peucicap, menurut sepanjang reusam negeri. Sehabis dahar pagi, para Rangkaya-rangkaya duduk berkeliling di depan pancarena dengan menghadapi hidangan ayapan beretih, beras padi dan rumput sedingin alat ramuan peusijuek (tepung tawar), inang bidan lalu mendekati bayi itu yang terbaring di atas keta pencarena. Seorang perempuan tua tatangkan sebuah piring emas yang di dalamnya terletak hati ayam. Inang bidan itu lalu membalik-balik hati ayam itu 7 kali dengan menyebutkan satu dua sampai tujuh kali, sebagai hati ayam ini dibalik-balik, begitulah nanti hati bayi itu berbalik-balik tatkala melaksanakan suatu perkerjaan atau tatkala bertentangan dengan musuh, sehingga terbitlah akal dan fikiran yang mendatangkan bahagia. Sesudah dibalik-balik tujuh kali itu, lalu diletakkan pada ujung lidah bayi itu, kemudian diangkat dan diturunkan balik ke dalam piring emas itu dan rukun reusam itu pun selesailah.

Tujuh hari tujuh malam orang-orang berngangah-ngangah dalam mengerjakan peralatan perjamuan Seri Baginda Sultan Alauddin Mansursyah kepada segala fakir miskin, dan sekalian orang-orang besar dalam negerinya untuk melepaskan hajat nazar Baginda dan permaisuri, bukan kepalang banyaknya hamba rakyat yang puja-puji akan Seri Baginda serta permaisuri yang murah dan harimullah itu, dengan mendoakan mudah-mudahan Allah akan membalas kemurahannya itu dan dengan tiada merasai letih dan payahnya, setelah selesai peralatan itu, masing-masing pulanglah mereka ke rumahnya.

Baca juga kelanjutannya di bagian 2, Iskandar Muda di masa bayi

H. M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957, halaman 13-15

Peringatan Mereka yang Berdiam Diri

Deijkerhoff dianggap sebagai kambing hitam karena telah dikelabui oleh Teuku Umar.
Di antara hikayat perang, kisah-kisah kepahlawanan Aceh, terdapat sebuah tulisan yang namanya saja telah merupakan penemuan cemerlang. Yaitu "Peringatan Mereka yang Berdiam Diri". Tadzkirat ar-Rakidin. Naskah itu ditulis dalam bahasa Arab resmi, yang bagi negeri-negeri Muslim timur menjadi semacam bahasa Latin untuk gereja. Hikayat ini merupakan kumpulan risalah yang menyatakan adanya sultan, yang dalam usia tiga belas tahun pada tahun 1884 oleh para 'raja pemilih' dinyatakan menjadi dewasa dan dinobatkan, dituduh terlalu lemah - suatu tuduhan yang rupanya ditujukan kepada para walinya, hulubalang-hulubalang yang utama. Mereka sendiri sempat mendengar kecaman bahwa "mereka terpecah-belah oleh soal-soal kuman, hingga tidak melihat gajah yang mengancam mereka semua". Rakyat desa tidak turut berperang dan bahkan beberapa orang ulama yang tetap duduk termenung di atas tikar sembahnyangnya atau menggunakan dana peperangan yang dipercayakan kepada mereka untuk membangun masjid-masjid di daerah pedalaman.

Penulis hikayat ini, yang menyerukan kepada seluruh Aceh untuk berperang dengan hebat melawan "sampah kemanusiaan", yaitu Belanda, adalah salah seorang ulama yang paling giat pada masa konsentrasi belakangan, bernama Teungku Kuta Karang. Walaupun dia mengeluh, banyak sekali orang semacam dia yang tidak tinggal diam, ketika orang-orang Belanda memang berbuat demikian. Antara tahun 1884 dan 1896 terdapat kegiatan yang hebat di luar lini. Namun, ini merupakan perjuangan untuk berkuasa, yang selain berlangsung di dalam lingkungan sendiri juga dilakukan terhadap kaum kafir Belanda.

Seperti juga sejak dulu-dulu, taruhannya adalah siapa yang memperoleh kekuasaan tertinggi di seluruh negeri: kaum agama yang memiliki banyak sifat suatu partai rakyat, atau kaum feodal. Tidak ada dari kedua golongan ini yang sependapat. dan keduanya sama-sama menghadapi kesulitan dari para petualang tipe Teuku Umar, yang sekaligus melakukan perang sabil, perang suci, terhadap Belanda, melakukan penyergapan-penyergapan di daerah pantai barat dan tidak pula enggan menguasai dana perang muslim di sanan-sini.

Teungku Syekh Saman di Tiro adalah pemimpin kaum agama, tetapi bukan saingan. Sultan telah menganugerahkan kepadanya gelar Kepala Agama, yang dalam tahap terdahulu dipakai oleh Zahir Abdurrahman. Namun, tetap dia mempunyai saingan-saingan seperti Teungku Kuta Karang dan seorang keramat dari Samalanga yang bernama Habib Samalanga. Teungku Kuta Karang jelas melakukan sindiran dalam peringatannya kepada Teungku Syekh Saman dengan ucapannya tentang mendirikan masjid-masjid di pedalaman. Walau demikian, adalah Tiro yang dalam tahap perang paling menonjol di depan. Ia menekankan bahwa perang suci haruslah dilaksanakan seluruhnya menurut peraturan-peraturan agama, barulah Allah memperkenankan hasil. Dia berhasil menghimpunkan pasukan-pasukan yang baik persenjataannya dan teguh disiplinnya, yang terdiri dari ratusan anggota, kadang-kadang dengan bantuan desertir-desertir Belanda yang disambutnya dengan gembira. Ia mengirimi para hulubang surat dengan anjuran-anjuran, seperti: "Takutilah Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa dan kerjakanlah suruhan-suruhan-Nya; jauhi apa yang telah menjadi larangan-Nya, anjurkanlah kaum Muslimin berbuat demikian dan suruh mereka bersiap melakukan perjuangan terhadap kaum kafir." 'Jangan terpedaya Tuan-tuan dengan kuasa kafir ini dan banyak hartanya dan kuat perkakasanya dan banyak serdadunya dibandingkan dengan kuasa kami dan harta kami dan perkakas kami dan rakyat Muslimin karena tiada kuasa dan tiada yang kaya dan tiada yang banyakan tentaranya melainkan Allah Yang Maha Besar dan tiada yang memiliki manfaat dan mudarat melainkan Allah dan tiada yang memberi teladan menang melainkan Allah yang memiliki sekalian alam'.

Antara tahun 1884 dan 1889, Syekh Saman bahkan berulang kali mengirim surat kepada pemerintah di Kutaraja. Di dalamnya ia menganjurkan orang Belanda masuk Islam. 'Jika Tuan-tuan dengar dan turut seperti nasihat kami ini dapat untung baik, dapat kemegahan, jadi Tuan akan menjadi kepala kami dan dapat harta, seperti mereka yang telah lari ke pihak kami telah memperoleh harta dan hidup dengan senang dan berjalan tanpa mengikuti perintah orang lain, tenang tidur dan makan tanpa menghindari mereka atau menyalahkan mereka, bebas sebagai burung di hutan dan ikan dalam air, dan mendapat sejumlah wanita yang baik-baik dan tidak bergaul dengan orang lain, semua menurut hukum-hukum Islam.'

Pasukan gerilya Teungku Kuta Karang dan Habib Samalanga sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan kekuatan militer Teungku di Tiro dan kelima orang putranya, yang semuanya telah memainkan peranan penting dalam perang. Keluarga Tiro merupakan contoh baru akan sifat menurun Perang Aceh, karena tiga generasi wangsa ini jadi syahid, mati sebagai pahlawan agama, atau sebenarnya saksi, mati syahid'.

Tiro tua pada tahun 1959 dinyatakan sebagai pahlawan nasional. Dia tercantum pada prangko-prangko seri Pahlawan, dan di Jakarta ada sebuah jalan raya yang menggunakan namanya. Penghormatan anumerta ini diperolehnya bersama dengan seorang pahlawan Aceh yang selama hidupnya dicurigainya: Teuku Umar. Nama Teuku Umar kini menghiasi - wahai ironi Indonesia - Van Heutsz Boulevard dulu di Jakarta.

Siasat Teuku Umar

Umar berasal dari keturunan hulubalang di pantai barat. Berangsur-angsur dia berhasil meluaskan kekuasaannya dengan menanggulangi kebun-kebun ladanya dengan baik, dengan kecerdasan, tipu daya, keberanian, perkawinan-perkawinan yang menguntungkan, teror, dan entah apa lgi. Pada tahun 1870 dia kawin dengan putri hulubalang yang fanatik, Cut Nyak Din, yang besar pengaruhnya baginya. Seperti Syekh Saman diangkat oleh Sultan menjadi Raja Laut. Gelar-gelar ini mempunyai satu persamaan: artinya bisa segala apa saja atau sama sekali tidak apa-apa, bergantung kepada si pemakainya memberikan isi pada gelar-gelar ini.

Termasuk ke dalam taktik Umar adalah mengadakan pendekatan berkala pada Belanda dalam masa panen lada tiap tahun jika dia mencari kemungkinan pengapalan. Antara panen dan gairah dia memainkan peranan satria penyamun berdasarkan kebangsaan atau kedaerahan, dengan menggunakan ketentuan ajaran-ajaran agama. Pada zaman Nisero dia telah memainkan peranan, pada tahun 1866 dia sendiri membuat perkara Nisero. Pada tanggal 14 Juni, dia menyerang besama gerombolannya ~ pilihan antara kata-kata verzetsgroep (kelompok perlawanan) dan bende (gerombolan) yang begitu berbeda isi perasaannya, yang dalam kisah Aceh kadang-kadang sulit, tidak menjadi masalah di sini ! kapal api kecil Hok Cantin, yang memuat lada di Teluk Rigas di pantai barat dan menyelundupkan senjata. Dengan kedok hedak bertemu secara bersahabat mereka naik ke kapal, dan tiba-tiba saja Teuku Umar dan orang-orangnya menerkam perwira-perwira kapal orang Eropa.

Kapten Hansen, orang Den, dan juru mesin Robert McCullogh dibunuh, istri kapten dan juru mudi satu dibawa untuk menuntut uang tebusan. Kapal itu dirampok dan ditinggalkan, kemudian awak kapalnya orang-orang Melayu melayarkannya ke Olehleh. Tampaknya peristiwa Nisero berulang. Sebagiannya memanglah begitu. Koran-koran Pinang dan Singapura mencaci maki habis Belanda lagi, tetapi dalam hal ini jelaslah, berbeda dengan peristiwa Nisero, bahwa para pemilik irang Hok Canton di Pinang-lah dalam perdagangan selundupan seperti ini yang harus menanggung risiko sendiri. Bencana militer seluruhnya diulangi. Sebuah ekspedisi kecil yang dikirim dari Olehleh ke seberang harus kembali dengan sia-sia. Nyonya Hansen, yang menderita luka, dan Fay diangkut ke sana kemari. Kemudian mereka dibebaskan dengan uang tebusan 25.000 ringgit.

Tindakan Raja Laut ini memang merintangi pendekatannya pada panen lada berikut, tetapi beberapa tahun kemudian Gubernur Van Teijn toh menyetujui usaha-usaha pendekatan yang baru. Sikap menanti pihak Belanda tampaknya sesudah tahun 1888 mendatangkan hasil. Dalam daerah yang berbatasan dengan Lini dan yang sesungguhnya paling mendapat rintangan dari blokade pantai, beberapa pemuka lagi "memperlihatkan tanda-tanda pendekatan" (bahasa jabatan). Kutaraja dan Batavia hampir-hampir tidak menyadari bahwa kecuali blokade ada lagi ancaman lain terhadap kekuasaan mereka yang mendorong kaum hulubalang: tekanan kaum ulama.  

Terdapat optimisme besar di Kutaraja. Bukankah tersebar desas-desus bahwa di Keumala, sebuah kota di hulu Pedir tempat kedudukan istana, terjadi perpecahan hebat habis-habisan dan bahwa sultan beberapa waktu harus minta perlindungan Panglima Polim di Aneuk Galong? Desas-desus ini benar dan sesudah pertentangan itu diselesaikan dalam kelompok istana pun, garis pemisah antara mereka yang tidak kenal damai dan mereka yang ingin mengadakan pendekatan jelas terlihat. Pada tahun 1889 terhadi hubungan-hubungan tidak langsung dengan Keumala. Tetapi bersamaa dengan itu para hulubalang di daerah perbatasan Lini Konsentrasi yang mencari pendekatan begitu diancam oleh kelompok-kelompok ulama dan saingan-saingan yang lain, sehingga harus diberikan perlindungan militer dari lini. Pada bulan Oktober 1890 bahkan sampai-sampai perantara-perantara resmi berkunjung ke Keumala. Teuku Nek dan pemuka-pemuka lainnya yang bersahabat bertolak dengan membawa hadiah-hadiah yang berharga menghadap Sultan dan diterima dengan ramah. Pemerintah Hindia menyatakan kesediaannya untuk mengakui Sultan dan memperkenankannya memerintah di bawah tampuk kedaulatan Belanda. Barangkali Sultan lebih mengerti dari Kutaraja dan Betawi bahwa tidak akan pernah dia dapat menjadikan kedudukan yang demikian kenyataan. Dengan naiknya kaum ulama, maka kekuasaannya yang sebenarnya menjadi lebih kecil daripada sebelumnya. Walaupun berbagai perantara memperoleh hadiah yang besar-besar untuk pekerjaan mereka (seorang Arab yang tampaknya agak mempunyai pengaruh di Kutaraja bahkan ditawari lima puluh ribu gulden bila ia dapat membujuk Sultan), tidak ada sesuatu yang kongkret terjadi.

Ini merupakan konstatasi belakangan. Pada tahun 1891 kelihatannya terjadi kebalikannya. Pada bulan Januari timbul harapan baru. Tidak lama tiba-tiba meninggal berturut-turut dua orang pemimpin perlawanan yang paling sengit terhadap Belanda dalam dua kelompok perlawanan: Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Kematian mereka ternyata tidaklah mempunyai arti sepenting yang diduga. Perlawanan menjadi terpecah-pecah, tetapi dengan demikian belum berarti lebih mudah menghadapinya. Walau demikian, baik di kalangan hulubalang maupun di kalangan ulama tidak timbul lagi pemimpin-pemimpin dengan wibawa moral yang begitu besar seperti Tiro tua dan Panglima Polim. Anak-anak mereka memang mewarisi gelar dan pangkat, tetapi tidak mewarisi wibawa mereka. Putra sulung Syekh Saman, yang juga disebut Teungku di Tiro ~ nama yang sebenarnya Teungku Mat Amin ~ bukan tandingan bapaknya. Panglima Polim yang baru, kepala sagi Mukim XXII, lebih mempunyai prestise. Kepemimpinan feodal memang mempunyai pewaris yang lebih baik daripada kekuasaan kerohanian. Tetapi dia bukanlah pula seorang pemimpin besar benar-benar.

Teuku Umar yang paling beruntung dari senjakala kekuasaan. Ada tanda-tanda bahwa menurut anggapannya dia akan dapat mewujudkan mimpi lama yang menguasai Habib Abdurrahman dulu-dulu: memimpikan tahta sultan, setidak-tidaknya kedudukan yang sama di bawah tampuk kedaulatan Belanda. Tetapi juga terdapat sebab-sebab praktis mengapa dia memperbaharui pendekatannya. Pada bulan Januari 1892 tiba seorang gubernur militer baru, Kolonel C. Deijkerhoff. Dia meniupkan napas baru pada pengaturan pelayaran kapal yang baru. Terutama di pantai barat blokade dipertajam dan di sanalah Umar memiliki kebun-kebun ladanya.

Ada pula keterangan yang ketiga mengapa Umar bersikap demikian. Tanah asalnya ialah daerah Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi. Pada tahun 1891 beberapa gerombolan ulama masuk ke sana melakukan tindakan-tindakan yang bersifat perampokan dan penggarongan. Umar menawarkan diri untuk membasmi gerombolan-gerombolan ini bila pemerintah mengampuninya dan menyokongnya benar-benar. Bantuan ini secara kecil-kecilan telah diberikan sebelumnya kepada para hulubalang yang loyal di luar Lini. Menurut Deijkerhoff, di sini terdapat banyak kali kesempatan, sesudah bertahun-tahun dia sebagai gubernur pertama dengan pandangan-pandangan yang sesungguhnya atas masalah Aceh. Rencana yang disampaikannya kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk mengandung banyak hal. Dia ingin menetralisasikan pengaruh Pinang yang besar dengan membentuk pelabuhan bebas di Pulau Weh, pulau yang terletak di lepas ujung utara Aceh, tempat sebuah pulau kecil memasuki Samudera. Dia ingin menerapkan pengaturan pelayaran kapal secara tepat sebagai alat untuk memberikan hadiah kepada rakyat-rakyat pantai yang setia atau untuk menghukum karena tidak setia. Dia ingin memulihkan kesultanan di bawah kedaulatan Belanda. Dan dia ingin mengelilingin Lini dengan suatu lingkungan sekutu-sekutu feodal, termasuk Teuku Umar, dan membuat mereka mampu bertindak keras sendiri terhadap kaum ulama dengan tegar.

Rencana Deijkerhoff diterima oleh Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Salah satu tindakannya terakhir sebagai gubernur jenderal adalah mengizinkan Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata-senjata untuk bertempur di Mukim VI. Tetapi rencana ini dilaksanakan baru di bawah seorang gubernur jenderal yang menjadi musuh paling keras dari cara-cara kompromi begini, Jhr. C. H. A. van der Wijck. Dia tiba dalam bulan Oktober 1893 di Batavia, yang sudah dikenalnya. Dia sendiri berasal dari kalangan pangreh praja Hindia pada tahun 1890 dan 1891 pernah menjadi wakil ketua Dewan Hindia. Pada pengangkatannya menjadi gubernur jenderal, Menteri Van Dedem benar-benar minta agar dia memperhatikan rencana Deijkerhoff. Menurut Van der Wijck, sampai-sampai ratu wali diminta turun tangan agar dia mau berjanji bahwa dia akan memberi kesempatan pada Deijkerhoff untuk melaksanakan kebijaksanaannya.

Di tempat lain di Kepulauan Nusantara tangan Van der Wijck tidak terikat. Baru saja dia menjabat kedudukannya, ia pun menyuruh agar disiapkan suatu ekspedisi terhadap Lombok. Penduduk aslinya, bangsa Sasak, selama ratusan tahun ditindas oleh raja-raja Bali. Menurut keterangan-keterangan resmi, orang Sasaklah yang meminta bantuan Batavia. Sesungguhnya seruan minta pertolongan ini telah puluhan tahun disuarakan, tetapi baru Gubernur Jenderal Van der Wijck-lah yang membatalkan politik tidak campur tangan dan melakukan tindakan militer. Ekspedisi bulan Juli sampai 1894, dengan kekuatan 2.400 orang anggota dan 1.800 orang narapidana kerja paksa, mula-mula mengalami kegagalan demi kegagalan tetapi akhirnya berhasil mengalahkan wangsa raja-raja di Lombok. Di Keraton Cakranegara ditemukan 230 kilo emas dan 7.200 kilogram perak, selain dari itu seharga berjuta-juta perhiasan yang diangkut ke Negeri Belanda dan memperoleh kemasyhuran bagaikan dongeng di sana. Ada sesuatu yang aneh: seruan minta bantuan yang dilakukan orang Sasak sesudah pembebasan mereka tidak bungkam. Menyusul untuk masa lama lagi kerusuhan di Lombok, tidak di kalangan orang Sasak yang drri segi penjajahan, lepas dari mulut buaya masuk ke dalam mulut harimau.

Van der Wijck sedikit pun tidak meragukan pendapatnya bahwa terhadap Aceh pun ia lebih menyukai dilakukannya tindakan militer, tetapi Deijkerhoff harus diberikannya kebebasan untuk bertindak. Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda dalam Mukim XXV dan XXVI; dari sinilah daerahnya diserang. Hasilnya besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang dan hulubalang-hulubalang yang penting dari kedua sagi menggabung pada Umar. Pada tanggal 30 Desember bahkan dalam suatu upacara di Kutaraja dia diangkat menjadi panglima prang besar pemerintah. Untuk memberikan arti peristiwa penting ini juga bagi kehidupan pribadinya, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di Indonesia dia mengambil nama baru, yang diakui oleh pemerintah: Teuku Johan Pahlawan. Bersama dengan lima belas panglimanya sang panglima besar menyatakan sumpah setia kepada Belanda.

Pertunjukan yang gemilang memang. Gubernur memerintahkan penyelenggaraan upacara besar-besaran. Semua pejabat pemerintah dan perwira-perwira tinggi hadir, semua pemuka yang bersahabat dari dalam dan luar Lini. Di sinilah untuk mengkonsolidasikan sukses Umar dibuat beberapa benteng sementara dengan penghuni campuran Aceh dan Belanda. Demikian besarnya kepercayaan Deijkerhoff pada Teuku Johan (bersamaan dengan itu demikian besar kecurigaannya terhadap sikap para bawahannya yang tidak mau saja melupakan Nisero dan Hak Canton), sehingga dia pribadi akan melindunginya. Untuk segala persoalan Teuku Johan akan langsung berhubungan dengan Gubernur dan hanya menerima perintah-perintah pribadi dari dia. Ada suatu soal kecil lagi: pantai barat sementara tetap ditutup, tetapi Teuku Johan mendapat izin mengangkut ladanya lewat Olehleh.

Pada bulan-bulan akhir tahun 1893 panglima besar melanjutkan operasinya yang sangat berhasil. Pada bulan November dia memiliki tentara yang terdiri dari dua ribu orang bersenjata, senjata Belanda. Pada tanggal 30 Oktober bahkan dia menaklukkan Aneuk Galong, setumpu militer yang terpenting dari Panglima Polim (muda) di lembah. Deijkerhoff menetapkan penempatan 140 orang dengan lima orang perwira dan menyuruh mengibarkan bendera Belanda lagi di atas pos yang dikosongkan pada tahun 1884. Dalam waktu setengah tahun, berkat Johan Pahlawan, seluruh daerah Mukim XXV dan XXVI, bahkan sebagian dari Mukim XXII dibersihkan dari musuh. Ditetapkan sepuluh pos yang baru dan sederetan rumah petak kecil, tempat orang-orang Umar dimukimkan. Patroli dilakukan bersama-sama. Didorong oleh keberhasilan ini, Deijkerhoff memberi izin kepada Teuku Johan pada tanggal 1 Januari 1894 untuk membentuk legiun dengan 250 orang, yang seluruhnya dibiayai pemerintah, mempersenjatainya dan membekalinya. Tempat kedudukannya adalah Lam Pisang di Mukim VI, tempat kediaman Johan, letaknya strategis di lembah yang sempit. Melalui inilah terdapat jalan satu-satunya dari Olehleh ke Krueng Raba di pantai barat.

Pada bulan April selesailah operasi pembersihan besar-besaran. Tidak di semua tempat terdapat ketenangan, tetapi pada umumnya wajah lembah Aceh Besar dalam satu tahun telah berubah seluruhnya. Kaum ulama bingung. Bolehkah pertempuran melawan legiun Teuku Johan, yang terdiri dari orang Muslim seperti mereka juga, disebut prang sabil, perang suci? Sementara orang berpendapat tidak. Hal ini segera juga banyak mengurangi hasrat bertempur. Bila orang pada waktu gugur tidak memperoleh jaminan seperti syahid memasuki surga, maka tampaknya hal ini terlalu mirip dengan pertikaian-pertikaian tetangga yang dulu. Panglima perang besar sesungguhnya juga tangkas dalam memberikan uang suap dan membuat janji antara sesama mengenai pembagian kekuasaan yang baru. Pemerintah tidak perlu mengetahui semuanya, bukan? Kendatipun operasi-operasi luas liputannya, kerugian-kerugian legiun kecil sekali.

Kolonel Deijkerhoff menjadi Jenderal Deijkerhoff dan hidupnya senantiasa beruntung. Bahkan ketika pada tahun 1894 daya guna pasukannya banyak dikurangi sehubungan dengan ekspedisi Lombok yang mengorbankan serdadu sama-sama banyaknya seperti ekspedisi-ekspedisi Aceh dulu-dulu, di Aceh Besar keadaan tetap tenang. Kerugian-kerugiannya sendiri dapat diabaikan: pada tahun 1893 sebelas orang mati, tahun 1894 tujuh belas, tahun 1895 delapan orang. Biaya legiun sedikit lebih dari seratus ribu gulden tiap tahun, rumah-rumah petak orang Aceh tercantum menggunakan anggaran 120.000 gulden, kepala-kepala yang baru diangkat menerima gaji semuanya 66.000 gulden. Sebagian besar lembah itu telah diamankan dengan biaya kurang dari tiga juta gulden. Seluruh pengeluaran militer di Aceh berjumlah tujuh juta gulden. Dahulu dengan dua puluh juta gulden setiap tahun pun hasilnya tidak sejauh ini tercapai.

Siapa kini yang masih akan merugikan bahwa peperangan telah hampir berakhir?

Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 143-150.

Hadih Maja - B

  1. Babah keu meng-mong, nyawong keu beulanja
  2. Babah brok
  3. Babah tarek
  4. Bajee baro bek dilee neubloe, neusok nyang ka na bah le bak brok-brok
  5. Bagah jaroe
  6. Bagah tajak trep troh
  7. Bagah taplueng, meusingklet gaki
  8. Bak adat ka jikab, bak hukom ka jikulom
  9. Bak badan hana siurat beuneung
  10. Bak beuringen han meuganeng, na tom beurunjing mubeurahla?
  11. Bak bue bek tajok bungong, bak inong bek tapeugah rahsia
  12. Bak bue bek tajok bungong, bak ureueng tuneng tajok minyeuek
  13. Bak jak bak peulangan, watee troh taboh nan
  14. Bak gob mupake bek gata pawang, bak gob muprang bek gata panglima
  15. Bak ie laot peue taboh sira
  16. Bak ie linteng bek taboh ampeh, bak ie pareh bek tatheun ampeh, bek tameurakan deungon sipaleh, areutateu abeh geutanyoe malee
  17. Bak ie raya bek taboh ampeh, bak ie tireh bek tatheuen bubee, bek tameurakan deungon sipaleh, hareuta habeh geutanyoe malee
  18. Bak ie saboh bruek kreueng, bak udeueng ka laot raya
  19. Bak itek taboh tajoe
  20. Bak kayee matee bek taboh beunteueng, bak aneuk bajeueng bek tapula guna
  21. Bak liwang-liwieng, bak pucok trieng empung beuragoe, lahe teupat baten kiwieng, ban pucok trieng bungkok keudroe
  22. Bak mie tajok tikoh, bak musoh tatroh rahsia
  23. Bak musoh bek talakee bantu, bak madu bek talakee ubat
  24. Bak nabsu pakriji bek, adak awek pi jikrik
  25. Bak nyang gatai, sinan tagari
  26. Bak ok sion peue taboh minyeuk, bak gigoe sianeuek peue taboh baja
  27. Bak panggang geuboh kuah
  28. Bak peng gadoh janggot, bak brot gadoh malem
  29. Bak peugah haba, bu ie meuasab
  30. Bak si buta tajyue beuet kitab, bak si bangsat tayue meudu'a
  31. Bak sigeusuen, kuen pi meujak-meujak
  32. Bak sikaya baro, han mee meuutang
  33. Bak sikuroh hana rupa, bak simeuklai hana bahsa
  34. Bak siploh tajok saboh, hana gadoh kira-kira
  35. Bak sisulet bek tajok gunci, bak pancuri bek tajok atra
  36. Bak sisulet uteuen pi luah, bak simalah raya that dakwa
  37. Bak sirumpet taboh subang, bak sirumpang taboh baja
  38. Bak siceumeuceb talakee lhok
  39. Bak taduek mupayeh, bak taeh mupaya
  40. Bak tapajoh bu, sinan tatoh ek
  41. Bak tamumat ka patah, bak tameugantung ka putoh
  42. Bak cangguek pane gadeng, bak kareng pane gapah
  43. Bak cangguek talakee bulee, bak asee talakee lungke
  44. Bak cangguek talakee gadeng, bak leubeng talakee gapah
  45. Bak takalon hana meuhat. bak dali adat geutunggai donya
  46. Bak tulo bek talakee seukeuem
  47. Bak ureueng 'areh jeu-oh that geupham, bak ureueng paneuk bicara
  48. Bala tasaba nekmat tasyuko, disinan nyang le ureueng bahgia
  49. Ban geupate, meunan tabalot
  50. Ban laku geupeh geundrang, meunan tanari
  51. Ban laku crah, meunan beukah
  52. Ban lingkok krueng, meunan ile ie
  53. Banja ube jiplueng, bulueng ube jiteuka
  54. Ban meuturi sisisi pisang, 'oh rakan sikrak ija plang
  55. Ban meusulet, tapeugah pruet
  56. Ban u meunan minyeuk, ban ku meunan aneuek
  57. Bangke gajah, bek tatob ngon on birah
  58. Bangsat Padang, Beudawi Atjeh
  59. Beranggadum meuhai meuh, ek cit tabloe. Meunyo peue budhoe han ek hareuga.
  60. Baranggadum raya ie krueng, nyang geubileueng ie kuala. Baranggadum buet rakyat, nyang geubileueng buer raja.
  61. Baranggapeue buet tameuguree, bek tatiree han sampereuna
  62. Baranggapeue buet tapike dilee, 'oh ka malee keupeue lom guna
  63. Batee dimeuyub batee diateueh, anco boh seulimeng diteungoh-teungoh
  64. Bee, lagee bee dondang meuaneuk
  65. Bee, lagee bee kameng randok
  66. Bee, lagee musang tuha
  67. Bek kakab bakong hai lintah, kon dum rumah kah pajoh tuba
  68. Bek kamarit meukah-kah, timoh iku jeuet keu gajah
  69. Bek kamariy meukah-kee, timoh iku jeuet keu asee
  70. Bek lagee boh trueng lam jeu-ee
  71. Bek lagee boh trueng lam jeu-ee, ho nyang sihet keunan meuron
  72. Bek leupah haba, bah leupah buet
  73. Bek mubalot-balot susoh
  74. Bek 'oh taboh bungkoh beuneung, meuteumeung bungkoh ija
  75. Bek 'oh geucu tajam, 'oh geureupang tampheuek
  76. Bek peujueut droe umpama cangguek, taduek diyub bruek dalam blang raya
  77. Bek rayek tatak, abeh ubit leukang lha
  78. Bek tabeureukah aneuk panah
  79. Bek taboh-boh rakan teu dilee, nyampang talakee ranub sigapu
  80. Bek taboh-boh ija brok, nyampang-nyampang jeuet tateumampai
  81. Bek tajak bagah-bagah, treb troh
  82. Bek tajak-jak alue tan pucok, bek tasok-sok luweue tan suja
  83. Bek tadeungo haba crot-brot, geutanyoe got-got jeuet binasa
  84. Bek tajuruet buloh beukah, teusie jaroe teubiet darah
  85. Bek taharab keu ie deue
  86. Bek taharab keu teuga gob
  87. Bek taingat keu langet manyang
  88. Bek takiran keu pliek busik, 'oh troh ulhok takira laba
  89. Bek takira srah ek gob, ek droeteu goh lom gleh
  90. Bek talhob ie deungon kulet
  91. Bek tamarit ngon ureueng tuloe, bek tapubloe keu ureueng buta
  92. Bek tameu-adee dikeue manok
  93. Bek tameusah ngon ureueng tuloe, bek tamubloe bak ureueng buta
  94. Bek tameu-en bak bineh mon
  95. Bek tameu-en bak reuleueng reuloh
  96. Bek tameuseunoh jirat baro, sinan nyang le ureueng binasa
  97. Bek tameutaroh bak leumo bakong, bek tameusabong bak manok buta
  98. Bek tamuwayang ngon buya cabak, geutanyoe rusak hana pat bila
  99. Bek tameusom lam peunucot, bek temeulimot ngon jeue
  100. Bek tapeukaru manok coh pade, lam suntok sabe kayem biasa
  101. Bek tapeugah jirat teumon
  102. Bek tapeukeu-eueng boh campli cina
  103. Bek tamuwot lam bruek reuhang, bek tameuglueng bak tanoh gle
  104. Bek tapeukeutuk kon guda ladang, bek taboh kang kon guda kaha
  105. Bek tapeurunoe tupe meulumpat
  106. Bek tapeurunoe bue meuayon
  107. Bek tapeurunoe rimueng pajoh sie
  108. Bek tapeusabe kai dengon are
  109. Bek tapeusaluk bak ie ile
  110. Bek tapeusak geupet uguha
  111. Bek tapeutunjok nabsu dikeue makanan
  112. Bek tapula kayee diyub kayee panyang
  113. Bek tasambat judi patah
  114. Bek taseuet laot deungon paleuet jaroe
  115. Bek tatambak batee ugle
  116. Bek tatak tanda bak kayee udep
  117. Bek tatak ateueng pade ka masak
  118. Bek tatak tanda bak bineh jalo
  119. Bek tathok-thok geumeuto tanoh, simalam beungoh han gadoh bisa
  120. Bek tatiek duroe bak ret neh raya, han teutob bak tajak teutob bak tawoe, peunyaket tabloe utang tapeuna
  121. Bek tatiek cak bak babah bubee gob
  122. Bek tatimplak manyet lam bleuet
  123. Bek tacah beurunyong, leumah ek asee
  124. Bek tacui ceumuet ngon alee
  125. Bek tacot langet ngon puteng sadeueb, laot taseuet ngon paleuet jaroe
  126. Bek tatoh ek lam kanet bu
  127. Bek tatoh ek ateueh tumpok gob
  128. Beuet ureueng malem, hareukat ureueng kaya
  129. Beuhe rimueng didalam uteuen, beuhe buya didalam krueng
  130. Beuingat-ingat tapeulahra bayeuen, 'oh kureueng eumpeuen jiwoe lam rimba
  131. Beukah eumpang, ro eumpieng
  132. Beukah jitangkob, beusot jitampai
  133. Beukah neuleuek, bayeue beulangong
  134. Beungeh lagee bubeue hu
  135. Beungeh keu seulungkee beulangong taproh, beungeh keu meulintee aneuk tapoh
  136. Beuni bek leumah kulet, peunyaket bek leumah nyata, ka saket bah didalam, bek hiram bak ie muka
  137. Beusoe seureuloe meulila ek guda, ureueng peh tuloe ureueng bloe buta
  138. Beutah beuteng, malah gigang
  139. Biek ate batee aleh kayee, hana akai hana malee
  140. Biek koh seureuban Nabi
  141. Biek pajoh ngeu aron
  142. Biek suyok ulee baho
  143. Biek teubai muka
  144. Bil baya wa bil bayeuek, nibak akai bangi get akai badeuek
  145. Bileh mate lam geuneugom, kamoe han tom kalon banda
  146. Bit pi phui bak takalon, geuhon bak tatijik
  147. Bit ka reudok goh lom geulanteue, bit pi le peue goh lom geureuda
  148. Bit pi takalon mise meukuwet, umu lon goh treb aneuek goh lom na
  149. Ble ban kilat, brat ban batee
  150. Boh ara-iri, ie paseueng surot, taduek di nanggroe gob, baranggakri pi taturot
  151. Boh keumukoh tabloe ngon meuh, boh aneuk tabloe ngon pade, tajak beutroh ta-eu beudeueh, bek rugoe meuh saket hate
  152. Boh kundo dalam tabak, takuak leumah ate. Taundo seun sitapak, tatulak bek leumah ri
  153. Boh labu bak barieh
  154. Boh limeng leumiek asam eungkot brok, ureueng ka datok pane lom gura
  155. Boh manok nyang mirah, sie nyang meugapah. Inong nyang ceudah, seekeu ek kalon mantong
  156. Boh manok saboh, baranggapat kon beukah cit
  157. Boh manok saboh baranggajan beukah. Bumoe peuet hah baranggapat pi sa
  158. Boh manok saboh eumpung, tacok saboh leungo bandum
  159. Boh minye tabloe ngon meuh, boh reunggeuh tabloe ngon pade, tajak beutroh takalon beudeeh, bek rugoe meuh saket ate
  160. Boh seureuba salah. Tapajoh mate ma, han tapajoh mate yah
  161. Boh ru pirak geusawak bak lungke leumo. Sinoe pi geujak sideh pi geujak. 'Oh meurumpak sabe pungo
  162. Boh tuba rasa peunajoh ureueng duson. Yoh goh talakee rasam 'oh ka talakee ampon
  163. Boh jakeuet diseuneulong
  164. Breueh seuneuba pade seuneuroh, adak goh sirasa ka
  165. Brok-brok meudang ara, sikrak lha jeuet keu ceudoh
  166. Brok-brok kapai, nyang labang na cit tinggai
  167. Bruek teugom han jeuet tabalek
  168. Bu, bu but. Inong, inong Atjeh
  169. Bu leukat han jeuet keu bu, ie bu han jeuet keu ie
  170. Bu sikai, ie sikai. Ngob jantong gadoh akai
  171. Bu sipeng eungkot sikrak, eh bak bajak limot ija krong
  172. Bubee dua jab seureukab dua muka, keunoe pi toe keudeh pih rab, bandua pat meuteumee laba
  173. Bubee lam ie, ie lam bubee. Hana tathee cuco ka na
  174. Budi beuna bahsa, pangkat beuna kaya
  175. Bue mubajee asee meusiluweue. Tapeuek jih ujuroe. Jitrom geutanyoe lam pageue
  176. Buet geulico-geulince, awau buet dudoe pike
  177. Buet gob bek tapeuduli, meuseuki ureueng teuka
  178. Buet gob bek tarindu, meukeumat iku han ek tahila
  179. Buet ka keumah, keureuja ka jadeh
  180. Buet meu-awe sabong, ubit uram rayek ujong
  181. Buet nyang geuyue narit nyang geulaku, sagai han mee mubantah haba
  182. Buet ube buet, seumbahyang bek tinggai. Areuta go takuet
  183. Buet walanca-walance, awai buet dudoe pike
  184. Buya han glak keu ie
  185. Buya krueng ka teudong-dong, buya tamong meuraseuki
  186. Buya cabak, hana jikeumeukab
  187. Bukon sayang cicempala, jikarom boh tilansahit. Bukon sayang ureueng pukaha, jiseumah po ka roh namiet
  188. Beumeuri cak, beumeuri geunuku
  189. Bungong rom bungong rihan, bungong peukan nyang mangat bee. Tameukawen nyang sipadan, tameurakan nyang tob meunalee
  190. Buta lam teubleut, tuloe lam reuhung

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis

Kisah Pertemuan Panglima Tibang dengan Mayor Studer (Bagian 1) ~ Teuku Mukhlis